Eco-theologi: Revolusi Mental-Spiritual Sadar Lingkungan

Muhammad Afwan Romdloni, S.H.I., M.Ag  –  Dosen D-IV Analis Kesehatan, Fakultas Kesehatan (FKes)

KRISIS ekologi yang terjadi sekarang menjadi persoalan serius dalam beberapa tahun ini. Tidak ada negara yang luput dari krisis yang melanda dunia ini.

Kerusakan lingkungan dan minimnya kesadaran dalam menjaga lingkungan menjadi faktor utama terancamnya bumi dari keserakahan manusia. Tingkat kerusakan alam pun meningkatkan resiko bencana alam yang akan terjadi.

Berdasarnya kenyataan yang ada, mucullah pertanyaan besar dalam benak kita semua terkait faktor serta upaya kita dalam menganggulangi permasalah lingkungan yang sudah dalam titik kritis dunia?

Menurut Sayyed Hossein Nasr (1976) kriris lingkungan yang ada ini yang paling pokok ialah krisis spiritual yang dialami oleh manusia modern sekarang ini. Nasr menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi di bumi akibat sains, teknologi, ekonomi kapital semuanya berakar dari krisis spiritual yang dialami manusia.

Dengan aspek spiritualitas yang dipinggirkan ini menyebabkan manusia berpendapat bahwa segala asset yang ada di bumi ini bisa mereka gunakan tanpa batas sebagai identitas dari paradigma humanism antroposentris.

Dalam konteks hukum Islam, pelestarian lingkungan hidup dan tanggung jawab manusia terhadap alam telah dibicarakan sejak dulu. Hanya saja, dalam pelbagai kitab tafsir dan fikih, isu-isu lingkungan hidup hanya disinggung dalam konteks generik dan belum spesifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki kekuatan.

Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam beberapa bab yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan seperti sekarang.

Selain kaitanya lingkungan dengan fiqih lingkungan juga bisa dikaitkan dengan keimanan yang kita kenal dengan istilah eco-theology sebenarnya ingin mengacu pada sebuah pemahaman tentang teologi ekologi.

Teologi adalah sebuah kajian tentang Allah atau Ilahiah, sedangkan ekologi merupakan kajian tentang hubungan antar organisme yang hidup di dalam lingkungannya. Maka, istilah ecotheology mau menunjuk pada suatu kajian yang membahas tentang hubungan antarsemua makhluk yang hidup di dalam lingkungannya dengan Allah sebagai sang penciptannya (Routledge, 1996).

Dalam keilmuan islam terbagi dalam tiga hal antara lain masalah iman, islam dan ihsan. Dalam konteks ini penulis memosisikan lingkungan tidak hanya sebatas keislaman dalam hal ini ibadah semata namun lebih tinggi lagi yakni dalam tingkatan keimanan yang kita kenal dengan istilah theology.

Karena sejatinya iman tidak hanya sebatas menggugurkan kewajiban untuk melakukan, namun bisa masuk dalam hati nurani dan keyakinan dalam melaksanakan tanggungjawab ibadah.

Permasalah pemahaman keagamaan, khsususnya masih ada beberapa orang yang masih memegang paham teosentrik, artinya bahwa semua kejadian bencana yang ada selama ini semata-mata adalah takdir Tuhan tanpa adanya campur tangan manusia yang ada di sekitarnya.

Krisis ini sesungguhnya terjadi akibat krisis moralitas sosial dan gagal pahamnya tentang hukum alam (sunnahtullah) tantang tanggungjawab atas lingkungan alam sekitarnya. Padahal Tuhan mengajak kta semua untuk belajar terhadap fenomena-fenomena social serta konsep hidup berdampingan secara harmonis dengan alam dengan jalan menjaga keseimbangan ekosistem yang ada didalamnya.

Dewasa ini, agama kembali dicari dan diharapkan menjadi solusi bagi berbagai krisis yang dialami manusia, termasuk diantaranya krisis lingkungan. Krisis lingkungan terjadi justru merupakan akibat dari kesalahan worldview yang meminggirkan spiritualitas agama.

Nasr (1975) mengatakan bahwa krisis ekologi bukan hanya masalah teknis dan ekonomis. Menurutnya, krisis lingkungan tersebut justru berakar dari menangnya humanisme yang memutlakkan manusia atas alam. Dalam konteks inilah diperlukan penegasan kembali pandangan theologi Islam tentang lingkungan.

Dari sini bisa dipahami bahwa faktor utama kondisi alam sekarang ini adalah akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Perubahan tersebut memerlukan pemahaman bahwa lingkungan bagian yang terpenting dalam nilai ibadah kita di antaranya dengan :

(1) Restrukturisasi masif dalam bidang transportasi, energi, industri, pengelolaan gedung, hingga sistem pangan

(2) Revolusi budaya secara radikal (dari akarnya) agar terbangun ‘kosmologi’ baru (yaitu, semesta budaya) demi berlanjutnya umat manusia di satu-satunya bumi yang kita miliki dan sedang ‘sakit’ ini.

Karena itu agama diyakini mampu berperan sebagai basis etika bersama dalam menyelamatkan bumi yang sedang mengalami krisis. Etika transenden yang berasal dari otoritas absolut itulah yang memungkinkan bisa menjamin kepastian nilai-nilai tertinggi, norma-norma tak bersyarat, motivasi terdalam dan etika universal yang melintasi batas negara, etnis, agama dan budaya. Dalam konteks kritik inilah urgensi pembuktian bahwa agama justru mempunyai misi dan tujuan suci untuk kebahagiaan bagi semua mahluk. (***)