Niken Savitri Primasari, SE., MM – Dosen Prodi S1-Akuntansi, FEBTD
KONFLIK berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah menciptakan perpecahan dan polarisasi opini di seluruh dunia. Salah satu reaksi yang menonjol terhadap konflik ini adalah gerakan boikot terhadap produk-produk yang berasal dari Israel.
Boikot tersebut bukan hanya merupakan ekspresi solidaritas, tetapi juga merupakan tindakan ekonomi yang dimaksudkan untuk memberikan tekanan pada entitas atau produk-produk yang terkait dengan konflik.
Gerakan boikot terhadap produk-produk Israel telah menjadi topik kontroversial yang mempengaruhi perilaku investor. Beberapa investor, dalam upaya untuk menyuarakan dukungan mereka terhadap Palestina, telah memilih untuk menarik investasi mereka dari perusahaan atau produk yang berhubungan dengan Israel.
Sebaliknya, ada juga investor yang tidak membiarkan faktor-faktor politik memengaruhi keputusan investasi mereka, tetap fokus pada pertimbangan finansial semata.
Perilaku investor melibatkan proses pengambilan keputusan dalam investasi, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor kognitif dan afektif (Ricciardi, 2014). Dalam konteks konflik Israel-Palestina, perilaku investor dapat memperlihatkan respon terhadap konflik tersebut melalui tindakan boikot terhadap produk-produk yang terkait dengan kawasan tersebut.
Ketika investor membuat keputusan investasi, mereka mempertimbangkan aspek kuantitatif dan kualitatif dari produk atau layanan keuangan. Namun, dalam kasus konflik yang memiliki dampak emosional yang kuat, seperti konflik Israel-Palestina, aspek emosional juga dapat memainkan peran signifikan dalam pengambilan keputusan investasi.
Boikot produk-produk Israel menciptakan dilema etis bagi investor. Pertanyaannya adalah apakah investor seharusnya memasukkan faktor-faktor etis, sosial, atau politik dalam keputusan investasi mereka, atau apakah keuntungan finansial semata yang harus menjadi faktor utama.
Dalam konteks ini, ada dua sudut pandang yang saling bertentangan. Sebagian investor memandang boikot sebagai tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etis mereka, menghindari investasi pada entitas yang dianggap terlibat dalam tindakan yang mereka anggap melanggar hak asasi manusia. Mereka percaya bahwa investasi mereka harus selaras dengan nilai-nilai yang mereka anut.
Namun, di sisi lain, ada investor yang meyakini bahwa investasi seharusnya berpusat pada pertimbangan kondisi keuangan. Mereka berpendapat bahwa menarik investasi dari entitas yang terkait dengan konflik hanya akan menghasilkan kerugian finansial, tanpa memberikan dampak yang signifikan terhadap penyelesaian konflik.
Ada juga sebagian investor yang memanfaatkan momentum boikot investasi saham pada perusahaan-perusahaan yang diduga adalah luaran dari Israel ini untuk dapat mengeruk investasi saham-saham potensial tersebut. Sebagai mana yang pernah disebutkan sebagai Black Swan Investment (Ekeroth, 2020) bahwa Investor mengambil keuntungan dari memboikot investasi saham di perusahaan-perusahaan dengan memanfaatkan momentum dan berinvestasi di saham-saham potensial tersebut.
Menilik jauh kebelakang, ternyata Strategi Black Swan ini telah dikemukakan oleh Greenwood et al. (2007), Strategi Black Swan melibatkan Investor aktivis dengan kemampuan prosentase maksimum kepemilikan, mereka cenderung untuk memaksa perusahaan target melakukan pengambilalihan, menghasilkan pengembalian abnormal positif yang besar.
Dampak dari gerakan boikot terhadap perilaku investor cukup signifikan. Boikot dapat memberikan tekanan ekonomi pada perusahaan atau produk yang terlibat, terutama ketika boikot tersebut mendapatkan dukungan yang luas. Investor dan konsumen yang menarik dana mereka dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam konflik dapat mempengaruhi kinerja finansial perusahaan tersebut.
Sementara boikot produk-produk Israel mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap kebijakan politik yang mereka anggap tidak bermoral, dampaknya terhadap perilaku investor harus dilihat dalam konteks keseluruhan dari investasi mereka. Beberapa investor mungkin menganggap penting untuk melibatkan faktor-faktor etis dalam keputusan investasi mereka, sementara yang lain mungkin lebih fokus pada pertimbangan keuangan.
Kesimpulannya, gerakan boikot terhadap produk-produk Israel sebagai respons terhadap konflik Israel-Palestina telah mempengaruhi perilaku investor. Bagi sebagian investor, faktor-faktor etis dan sosial menjadi pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan investasi, sementara yang lain tetap memprioritaskan pertimbangan finansial semata. Kondisi ini menunjukkan kompleksitas dan dilema yang dihadapi investor dalam menyikapi isu-isu politik dan etis dalam dunia investasi. (***)