Surabaya – Kasus polio pada anak ternyata masalah gizi buruk yang menyertai. Hal itu diungkapkan dr Waritsah Sukriyah mewakili Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur saat menjadi pembicara dalam seminar Hari Gizi Nasional yang digelar Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Sabtu (3/2).
Unusa sebagai lembaga pendidikan yang peduli terhadap kesehatan masyarakat, menggelar seminar sebagai bentuk kontribusinya dalam mendukung upaya pemberantasan stunting. Stunting, atau gagal pertumbuhan pada anak, menjadi fokus utama pembahasan dalam acara ini.
Dikatakan dr Waritsah, anak yang mengalami polio kecenderungan mengalami triple burden yakni stunting dan wasting, obesitas dan kekurangan zat gizi mikro seperti anemia. “Mana yang harus didahulukan ini. Ternyata masalah gizi ini dampaknya sangat luas bagi anak, ada penyakit lain yang bisa menyertainya,,” ujarnya.
Di Jawa Timur sendiri, kalau dilihat grafiknya sejak 2022 hingga 2023 sudah berupaya untuk mencapai target penurunan prevalensi stunting. “Inilah perjuangan kita, mudah-mudahan bisa turun 2023 lalu yang sebentar lagi mungkin akan dirilis hasilnya. Dan semoga di 2024 target prevalensi bisa turun 14 persen bisa kita capai,” tukasnya.
Hal yang utama dan penting untuk menangani stunting ini adalah dimulai dari keluarga baik itu ibu dan anak juga dari komunitas. Ini perlu kolaborasi baik itu pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Juga adanya campur tangan pihak lain baik itu akademisi dan sebagainya.
Pentingnya kolaborasi itu juga disampaikan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unusa, Achmad Syaifuddin. Dikatakan Syaifuddin, penanganan masalah gizi di Indonesia ini banyak yang masih belum berhasil.
Dari penelitian yang ada mengungkapkan hal itu kemungkinan besar karena penanganannya yang masih person by person, belum secara menyeluruh. “Dari penelitian Asian Development Bank dan Universitas Indonesia di ujung laporannya harusnya mulai melihat ke family atau keluarga dan komunitas,” jelasnya.
Karena itu, Unusa akan duduk bersama dengan Unicef, Kemenkes, Dikti dan kampus yang berbasis kesehatan untuk merumuskan riset mengenai masalah gizi ini ke depan. “Agar pada 2045 target untuk Indonesia Emas bisa dicapai. Dan Unusa akan mengambil peran menuju ke sana,” tandasnya.
Sementara itu Perwakilan Unicef Jawa Timur, Tubagus Arya Rukmantara menyampaikan pihaknya akan terus mendukung untuk tercapainya Indonesia bebas stunting. Karenanya, Unicef juga melakukan kolaborasi dengan banyak pihak.
“Kami juga mendorong masyarakat untuk melakukan apa yang menjadi himbauan dari Menteri Kesehatan saat Hari Gizi lalu di mana kader kesehatan harus mengecek dan melakukan penimbangan berat badan dan tinggi badan bagi setiap anak di Posyandu setiap bulannya,” jelasnya.
Jika hal itu bersama-sama dilakukan dan saling mengingatkan di lingkungan sekitar, maka prevalensi stunting bisa diturunkan. “Karena salah syarat untuk menurunkan stunting dengan penimbangan berat badan dan ukur tinggi badan, tandasnya.
Diharapkan, kegiatan semacam ini dapat terus dilakukan oleh berbagai pihak guna menciptakan kesadaran kolektif akan pentingnya gizi dan pencegahan stunting. Unusa juga berkomitmen untuk terus berperan aktif dalam upaya mewujudkan generasi muda yang sehat dan berkualitas. (***)