Model Pendidikan Nabi Ibrahim AS Terhadap Anak dan Keluarga

Nanang Rokhman Saleh – Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unusa

SETIAP keluarga mendambakan anak keturunan yang shaleh, taat, dan sehat serta berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Dambaan ini sesuai dengan doa yang selalu dipanjatkan oleh Nabi Zakariya AS kepada Allah agar diberikan dzurriyat thayyibah atau anak keturunan yang baik dalam agama, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosialnya.

(QS Ali Imran: 38) Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan pendidikan yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Model pendidikan yang tepat dapat dikaji dari berbagai ayat al-Qur’an, salah satunya menjelaskan kisah Nabi Ibrahim AS yang berhasil mendidik anak dan keluarganya menjadi generasi yang shalih, yaitu Ismail dan Ishaq yang keduanya juga menjadi Nabi. Berikut model pendidikan Nabi Ibrahim AS terhadap anak- dna keluarganya.

Memilih isteri yang shalihah. Isteri shalihah akan melahirkan anak yang shalih. Ibu merupakan sekolah pertama bagi anaknya. Tanpa keshalihan ibu, akan sulit mendidik anak untuk patuh, dan taat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang tuanya. Sarah adalah isteri pertama bagi Nabi Ibrahim. Dia bukan wanita cantik dan menawan, tetapi wanita shalihah.

Sekian lamanya belum dikaruniani anak oleh Allah, atas saran Sarah, Nabi Ibrahim menikah dengan seorang wanita budak yang berkulit hitam, sederhana, taat dan berakhlak mulia. Hasil pernikahannya melairkan seorang anak shalih yang bernama Ismail.

Berdoa kepada Allah agar dikaruniai anak yang shalih. Meski Ibrahim seorang Nabi dengan gelar “Khalil Allah” (kekasih Allah), beliau tetap berdoa kepada Allah agar diberi anak yang shalih (QS. as-Shaffat: 100). Hal ini menggambarkan bahwa guru mendidik anak tidak cukup melalui usaha lahir dengan terpenuhinya kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian, melainkan usaha batin juga penting dilakukan oleh guru dengan cara mendoakan anak didiknya kepada Allah agar mendapat hidayah-Nya sehingga ia dapat menerima dan memahami imu dari gurunya dengan mudah.

Menjadi teladan yang baik untuk anaknya. Nabi Ibrahim memberikan teladan terbaik kepada anak dan keluarganya selama proses pendidikan. Keteladanan merupakan metode yang paling tepat dalam proses membentuk anak menjadi manusia yang shalih. Kedudukan Nabi Ibrahim sebagai uswah hasanah atau teladan yang baik disebutkan dua kali dalam al-Qur’an (QS. al-Mumtahanah: 4 & 6). Dalam teori perkembangan psikologi, usia anak cenderung meniru (imitatif) orang-orang di sekitarnya terutama orang tua dan keluarga.

Dalam hal ini, orang tua memberi teladan kepada anak terkait iman, ibadah, sikap maupun perilaku. Ismail menjadi anak yang halim atau sabar (QS. as-Shaffat: 101) karena ayahnya, Ibrahim juga halim (QS. Hud: 75)

Memilih lingkungan yang baik. Nabi Ibrahim memilihkan lingkungan yang kondusif untuk membangun perkembangan mental spiritual dan moralitas anak. Setelah Hajar melahirkan Ismail, Ibrahim mengantar mereka berdua ke Bakkah (Mekkah) seraya mendoakan agar tempat itu diberkahi dan baik untuk perkembangan anaknya (QS. Ibarhim 37). Orang tua memantau perkembangan anaknya di rumah, sekolah dan lingkungan sekitar dengan memilihkan lingkungan yang baik.

Menjadi orang tua yang komunikatif dan demokratis. Ibrahim tidak memaksakan kehendak kepada anak dalam proses pendidikan, kecuali hal yang prinsip (taat dalam beribadah). Ibrahim tampil sebagai sosok orang tua yang dihormati dan diidolakan oleh anaknya. Hal ini tergambar dalam kisah dialog Ibrahim dengan Ismail terkait perintah Tuhan untuk menyembelih Ismail. Ibrahim memberi kesempatan kepada Ismail untuk menyampaikan pendapatnya atas perintah tersebut (QS. as-Shaffat: 102).

Mencintai anak karena Allah. Ibrahim mencintai Ismail tidak melebihi cintanya kepada Allah, karena hal ini akan mendatangkan petaka bagi keluarga (QS. al-Tawbah: 24). Kewajiban utama orang tua kepada anak adalah memberikan pendidikan aqidah, ibadah dan akhlak agar selamat dari api neraka (QS. al-Tahrim: 6).

Melibatkan anak dalam membangun Ka’bah. Nabi Ibrahim mengajak anaknya untuk membangun ulang Ka‘bah yang rusak karena peristiwa banjir sebelumnya. Ajakan Ibrahim ini mengajarkan kepedulian, menanamkan rasa memiliki dan tanggung jawab kepada anak terhadap pemeliharaan dan pengembangan Ka‘bah sebagai rumah ibadah bagi umat yang beriman (QS. al-Baqarah:    125).

Mempersiapkan anaknya sejak dini menjadi pemimpin. Nabi Ibrahim selalu berdoa agar diberikan keluarga dan anak keturunan qurrata a‘yun atau penyejuk hati dan menjadi imam atau pemimpin bagi orang lain yang bertaqwa (QS. al-Furqan:  74).

Anak shalih akan mampu melanjutkan estafet kepemimpinan dari generasi sebelumnya dalam rangka menyeru manusia agar beribadah kepada Allah. Demikian uraian singkat tentang model pendidikan yang dilakukan oleh Ibrahim kepada anak dan keluargnya sehingga tercipta generasi yang shalih dan qurrata a‘yun (penyejuk jiwa). (***)