SULTAN Fadjar Pelu, menjadi salah satu dari sebelas dokter baru yang dilantik dan diambil sumpahnya pada Sumpah Dokter Ke-7 di Unusa, yang berasal dari Ambon, Maluku. Cita-citanya menjadi dokter karena pesan kakak yang mengatakan jika di Maluku masih minim dokter muslim. Sementara dapat dipastikan ada kesenjangan jika pasien ditangani oleh dokter berbeda agama. Itu sebabnya usai pengabdiannya Fadjar ingin mengabdi di daerah asal, di Maluku.
Pria lulusan SMAN 2 Maluku Tengah itu menceritakan, dirinya memiliki culture shock yang sangat berkesan saat pertama kali menjajakan diri untuk studi di Surabaya.
“Pertama kali saya merantau ke Surabaya, saya dikagetkan dengan lingkungannya, bahwa orang Jawa itu sangat santun dan ramah bahkan satpam dan cleaning service pun orangnya sangat ramah untuk menyapa duluan, berbeda dengan kebanyakan orang Ambon yang karakter dasarnya adalah keras dan tegas saat berbicara,” pungkasnya.
Perjalanannya dalam masuk studi kedokteran tidaklah mudah. Fajar memiliki cerita tersendiri akan hal tersebut. Dengan latar belakang anggota keluarga yang berkarir di bidang hukum, lantas tidak menjadi hambatan dirinya untuk berjuang masuk bidang kedokteran.
“Keluarga saya berlatar belakang pendidikan hukum, saya juga sempat kuliah program studi hukum di salah satu universitas di Malang selama lima semester, namun pada akhirnya saya tetap berjuang memilih bidang minat saya yakni kedokteran untuk akhirnya jadi jenjang karir saya ke depan,” tuturnya.
Anak bungsu dari empat bersaudara itu turut mengungkapkan bahwa salah satu yang juga menjadi dorongannya untuk menjadi dokter adalah minimnya dokter muslim yang ada di Maluku.
“Ada satu pesan kakak saya yang juga menjadi dorongan besar untuk berjuang di studi kedokteran, beliau bilang dokter muslim di Ambon itu masih sedikit dan terasa sekali kesenjangannya antara pasien dan dokter yang berbeda agama, jadi dari pesan itu saya ingin mengabdi menjadi dokter di Maluku,” ungkapnya.
Perjalanan koasnya pada masa pandemi Covid-19 memiliki cerita tersendiri. Dirinya sempat terserang Covid-19 dan akhirnya harus melakukan isolasi mandiri selama sebulan dan kemudian ia harus mengganti masa koasnya yang sempat terhenti.
“Ketika pendidikan profesi dokter, saat itu ada di masa pandemi Covid-19 dan membawa kesan tersendiri bagi saya. Saya sempat terindikasi kena covid dan harus istirahat selama sebulan, lalu masa-masa koas itu juga menjadi pengalaman yang membuat kurang tidur, tapi saya sangat enjoy menjalaninya karena mendapat ilmu dan pengalaman baru,” cerita Fajar.
Pria kelahiran Denpasar, 1996 itu juga mengatakan stase yang sangat sulit dan menantang selama koas adalah ketika berada di stase ilmu penyakit dalam dan syaraf. Selain karena materi yang dihafalkan begitu banyak, ia juga selalu gugup berhadapan dengan dosen penguji saat akan ujian pada stase tersebut.
Selama koas, Fajar memiliki prinsip untuk selalu berusaha menomorsatukan komunikasi dan hubungan harmonis dengan pasien.
“Setiap berhadapan dengan pasien, saya selalu memposisikan diri saya sebagai pasien yang nantinya ingin dirawat seperti apa, supaya saya juga bisa memberikan pelayanan terbaik yang tentunya nyaman bagi mereka,” ucapnya.
Putra dari Abdul Razak Pelu dan Sri Rushadiningsih itu mengungkapkan, menjalin komunikasi yang baik dengan pasien merupakan kunci utama dalam memberikan kenyamanan bagi pasien.
“Selama koas saya seringkali mengobservasi bahwa sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah rasa terbuka dan teman untuk berbicara mengungkapkan apa yang dirasakan, bahkan saya pernah menjumpai pasien yang keadaannya sehat tetapi dia datang memeriksakan diri hanya butuh untuk bertukar cerita saja,” ucapnya.
Fajar juga menuturkan, sebagai dokter ia juga dituntut selalu bersikap ramah untuk membangun kepercayaan kepada pasien. “Sebanyak apapun pasien yang dihadapi, kita harus tetap bersikap ramah tamah, karena hal tersebut juga menjadi kunci dari pasien dalam mempercayakan dirinya untuk menjalani pemeriksaan,” tuturnya. (Humas Unusa)