GANTUNGKAN cita-cita mu setinggi langit. Itulah yang terungkap dalam perbincangan dengan Bidan Herna Wijayanti., S.Keb., peserta pelantikan dan pengambilan sumpah pendidikan profesi bidan di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) yang dilakukan Selasa (21/5) siang. “Saya berniat ingin melanjutkan ke jenjang strata dua jika Unusa membuka S2 Kebidanan, keinginan lainnya, bersama suami, saya ingin memiliki Rumah Bersalin sendiri,” katanya.
Cita-cita mulia itu bagi bidan Herna Wijayanti tidaklah berlebihan, karena suaminya seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi (Sp.OG) sedang ia memiliki pengelaman sebelas tahun lebih bekerja menolong persalinan di RS Dr. Soetomo. “Saya bekerja sejak tahun 2010 setelah menamatkan pendidikan D3 Kebidanan, kemudian karena menikah saya memilih keluar dan merintis klinik bidan mandiri sambil melanjutkan pendidikan di S1 Kebidanan di Unusa. Klini di rumah saya jalankan bersama suami,” katanya.
Usai menyelesaikan S1 Kebidanan Herna mengambil pendidikan profesi bidan. Alasannya mengambil pendidikan profesi bidan antara lain karena tuntutan profesi dan juga memenuhi peraturan dalam Undang-undang Kesehatan terbaru, yang mewajibkan bidan harus berpendidikan S1 dan mengikuti pendidikan profesi jika ingin bekerja di klinik atau membuka praktik sebagai bidan mandiri. “Tentu tuntutan dan keinginan untuk menambah bekal ilmu itulah kemudian saya mengambil pendidikan profesi bidan. Apalagi kini ilmu terus berkembang dan bidan tidak hanya dituntut untuk memahami dasar-dasar kebidanan semata. Menurut saya melalui pendidikanlah saya bisa menambah pengetahuan dan wawasan yang lebih jauh dan lengkap,” kata ibu dua orang anak dari satu kali persalinan, karena melahirkan kembar.
Isteri dr Hardian Sinaga Sp.OG ini mengungkapkan pekerjaan seorang bidan saat ini tidak hanya pada kegiatan ANC (antenatal care), pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk mengoptimalkan kesehatan fisik dan mental ibu hamil, sehingga ibu hamil diharapkan bisa lebih siap menghadapi persalinan, nifas, dan pemberian ASI eksklusif. Tapi juga mengerti tentang bagaimana bisa melakukan SHK (skrining hipotiroid kongenital), skrining atau uji saring dengan pengambilan sampel darah pada tumit bayi yang baru lahir. “SHK dilakukan untuk mengelompokkan bayi yang menderita Hipotiroid Kongenital (HK) dan bayi yang bukan penderita, sehingga bayi mendapatkan penanganan secara cepat dan tidak akan memberikan dampak yang cukup serius terhadap tumbuh kembang bayi,” kata ibu dari Hans dan Hana, kembar yang kini berusia 9 bulan.
Herna mengakui pendidikan profesi bidan yang dijalaninya di Unusa telah memberikan bekal positif untuk keberlangsungan klinik mandiri yang dikelola bersama suami. “Saya jadi makin matap dan percaya diri untuk menjalankan preaktik klinik mandiri. Terlebih saya sering berkolaborasi dengan kemampuan suami yang spesialis obstetri dan ginekologi. Saya fokus pada keahlian kebidanan, tapi jika ada pasien yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut seperti tentang patologi saya akan merujuknya ke suami,” kata Herna yang menjadi satu-satunya peserta pelantikan dan pengambilan sumpah profesi bidan beragaman Kristen.
Mungkin berkat kolaborasi isteri yang seorang bidan dan suami spesialis Obgyn itulah konon klinik kebidanan mandiri milik Hena di Kawasan Balungbendo, Sidaoarjo, ramai dikunjungi. Dalam sebulan lebih dari 100 pasien mereka dapat ditangani. (Humas Unusa)