Bdn. Yati Isnaini Safitri, SST., M.Kes, Esty Puji Rahayu, SST., M.Kes, Lailatul Khusnul Rizki, SST., MPH, Siska Nurul Abidah, SST., M.Tr.Keb, dr. Windi Indria Rini, Sp.M
SALAH satu dari dua puluh dua kelompok yang kurang beruntung di Indonesia dipegang oleh perempuan, khususnya perempuan marjinal. Marginal (margin atau periferi) adalah pengklasifikasian kondisi kehidupan suatu wilayah/kelompok masyarakat dan pranata sosial yang terpisah dalam tatanan masyarakat modern. Perbedaan kondisi perempuan marginal terlihat dalam berbagai bentuk dan bentuk: 1) status ekonomi, 2) letak geografis tempat tinggal kelompok masyarakat, 3) kondisi sosial keluarga, dan 4) latar belakang pendidikan.
Marjinal, rentan, dan eksploitatif, merupakan istilah-istilah yang selalu muncul untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan perempuan jalanan, baik itu pada usia anak/remaja/dewasa. Kehadiran perempuan dalam kelompok marginal ternyata tidak hanya berdampak pada eksploitasi hak-hak perempuan. Namun hal ini juga berdampak pada perubahan struktur sosial, misalnya: meningkatnya kejahatan yang dilakukan oleh perempuan seperti pengedar narkoba dan perempuan yang menyebarkan penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS.
Masa remaja merupakan masa yang rentan terhadap penyakit menular seksual. Perilaku seksual yang tidak aman atau penyalahgunaan jarum suntik untuk kecanduan narkoba meningkatkan risiko penularan penyakit menular seksual seperti gonore, klamidia dan, yang terpenting, HIV/AIDS di kalangan remaja. Meski PMS dikenal sebagai penyakit menular seksual, namun bukan berarti penyakit tersebut hanya bisa terjadi dan bermanifestasi di alat kelamin saja. Misalnya pada kasus HIV/AIDS, alat kelamin terlihat sehat, namun gejala melemahnya imunitas terlihat pada berbagai organ tubuh penderita HIV/AIDS, dan singkatnya seseorang mempunyai bibit penyakit menular seksual, yaitu; menular dengan sangat mudah melalui hubungan seks tanpa kondom.
Resiko terjadinya IMS juga dialami komunitas perempuan marginal di Ngagel, Wonokromo Surabaya. Rendahnya pendidikan kesehatan reproduksi, kebutuhan pengenalan IMS dan upaya deteksi dini serta kurangnya pemberdayaan Perempuan di lingkungan tersebut. Penyampaian informasi tentang sistem reproduksi dan penyakit infeksi menular bagi perempuan serta untuk mencapai eliminasi HIV-AIDS dan IMS pada tahun 2030 menjadi alasan utama dilakukan pengabdian dengan mengangkat tema ini.
Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan untuk memberikan materi tentang teori Pengenalan IMS (Infeksi Menular Seksual) dan Upaya Deteksi Dini. Sebelum dan sesudah penyuluhan diberikan pre-test dan post-test untuk menilai peningkatan pengetahuan. Tingkat pengetahuan perempuan dalam mengenali IMS (Infeksi Menular Seksual) dan upaya deteksi dini pada saat pre-test sebagian besar dari 29 orang (72,4%) mempunyai pengetahuan kurang.
Sedangkan pada saat post-test hampir seluruhnya sebesar 89,3% pengetahuan perempuan dalam pengenalan IMS (Infeksi Menular Seksual) dan upaya deteksi dini dari 29 orang mempunyai pengetahuan baik. Setelah mendapat edukasi tentang pengenalan IMS (Infeksi Menular Seksual) dan upaya deteksi dini, diharapkan anggota masyarakat mampu melakukan upaya pencegahan IMS dan berdampak pada penurunan angka kejadian IMS pada kelompok Perempuan Marginal. (***)