Surabaya – Pemandangan yang nampaknya tidak akan hilang pada setiap menjelang Idul Fitri adalah mudik, tradisi tiap tahun masyarakat Indonesia.
Menurut salah satu dosen Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Agus Wahyudi, S.Sos., M.Pd mengatakan bahwa tradisi mudik bukan hanya erat kaitannya dengan perayaan Idul Fitri, melainkan juga erat kaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan manusia. Paling tidak ada tiga dimensi yang dapat kita amati dalam tradisi mudik.
“Pertama, mudik memiliki dimensi spiritual-kultural. Mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa. Sebagaimana diungkapkan oleh Umar Kayam (2002) bahwa tradisi mudik terkait dengan kebiasaaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam para leluhur,” ucapnya.
Selain itu, ditambahkan pada penjelasan kedua, mudik memiliki dimensi psikologis. Pulang ke kampung halaman bagi para pemudik bukan hanya sebatas untuk merayakan Lebaran bersama keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja.
“Kerasnya kehidupan kota, bisingnya kota, dan berbagai tekanan kerja lainnya membuat para migran ini mengalami stres di tempat kerja, sementara keluarga yang menjadi tempat berbagi rasa jauh darinya. Tenangnya suasana kampung halaman, sejuknya alam pedesaan, ramahnya keluarga dan kerabat menjadi alasan yang tidak dapat ditolak untuk tidak mudik. Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga menjadi salah satu obat mujarab untuk menghilangkan stres bagi masyarakat migran kota,” jelasnya.
Selain memuat dimensi spiritual dan psikologi, mudik juga memuat dimensi sosial. Menjadi migran kota dengan setumpuk cerita keberhasilan merupakan sebuah kebanggaan. Cerita sukses hidup di rantau biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk aksesoris dan gaya hidup para migran di tanah kelahiran. Tak pelak pada kondisi terakhir ini mudik juga menjadi media penyalur watak konsumeris dan hedonis.
Agus menjelaskan, mudik dalam arti spiritual jarang dilakukan karena ia tidak banyak memberi kepuasan bagi para pemudik. Padahal tradisi mudik yang selama ini terjadi, jika dikaitkan dengan tradisi Lebaran, jauh dari spirit yang mestinya dibangun. Hal ini merupakan sebuah kewajaran karena nilai-nilai spiritual lebih bersifat abstrak dan tidak dapat dirasakan oleh orang lain.
“Mudik seharusnya dimaknai dengan menyambung hubungan spiritual dengan para leluhur dan menyambut tali silaturahim dengan keluarga, saudara, kerabat, dan sahabat. Bukan untuk kepentingan prestise sosial ataupun kepentingan material lainnya,” tambahnya.
Tradisi mudik memuat makna kultural, yang menyangkut identitas dan asal-usul entitas sosial-budaya. Tradisi mudik telah menjadi dialektika kultural yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Dan, merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah dikenal jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit. Dalam kebudayaan Jawa misalnya, mudik berarti memuat makna tentang asal-usul genetis dan transendental, sekaligus asal-usul ruang atau tempat.
“Misalnya, dalam bahasa Jawa, kata ‘dalem’ berarti “saya” yang sekaligus merujuk tentang makna tempat tinggal. Namun, tempat tinggal yang dimaksud bukanlah rumah, melainkan simbol identitas. Dengan demikian, ikatan asal-usul sangat kuat bagi para migrann meskipun telah lama tinggal di kota,” ucap Agus.
Fenomena mudik mengimplikasikan suatu heteronomi kultural. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik antara situasi dan nilai-nilai baru dengan yang lama. Tak bisa dipungkiri bahwa mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan berumah di kota namun di sisi lain sangat terikat dengan desa yang menjadi asal-usulnya. Tradisi mudik memperlihatkan betapa masyarakat sangat dikendalikan oleh masa silamnya. Kepulangan para pemudik ke desanya merupakan simbol romantisme masyarakat Indonesia. Tantangannya terletak pada pengalaman bahwa romantisme cenderung lebih bersifat reaktif ketimbang kreatif.
“Tradisi mudik bukan semata-mata untuk kembali ke asal-usul, sebab asal-usul menjadi sangat absurd ketika hanya kita sikapi sebagai tujuan. Mudik, alangkah eloknya justru mampu mengkonstruksi kesadaran bahwa asal-usul menjadi titik tolak masa depan negeri ini. Wallahua’lam Bisshawab,” ucapnya. (***)