Agus Wahyudi, S.Sos., M.Pd – Dosen PGSD, FKIP
SEPAKBOLA adalah olahraga paling populer di Indonesia. Olahraga ini digemari oleh masyarakat hampir di seluruh lapisan usia. Mulai dari desa-desa dipedalaman nusantara, sampai di kota-kota besar seperti ibu kota Jakarta. Seluruh masyarakat sangat familiar dengan yang namanya Sepakbola.
Mendengar kejadian ricuh atau keributan yang terjadi dalam sebuah pertandingan sepakbola, sepertinya adalah hal yang biasa bagi masyarakat pecinta olahraga ini di Indonesia.
Mulai dari level pertandingan antar RT, turnamen tarkam sampai dengan level liga sepakbola profesional tertinggi ditanah air sekelas Liga 1 pun, kejadian ricuh dalam sebuah pertandingan sepakbola masih saja sering terjadi.
Teranyar, kejadian ricuh yang sangat memprihatikan insan sepak bola di Indonesia dan dunia terjadi pada Sabtu (1/10/2022) lalu di Stadion Kanjuruhan Malang Jawa Timur.
Setelah laga di kompetisi Liga 1 yang mempertemukan derbi Jawa Timur antara tuan rumah Arema FC dan Persebaya Surabaya usai, kericuhan pecah antara suporter Arema dengan pihak kepolisian. Kerusuhan ini diduga dipicu oleh kekalahan tim tuan rumah Arema FC dari tamunya Persebaya Surabaya dengan skor akhir 2-3.
Karena merasa kecewa tim kesayangannya dipermalukan oleh tim tamu di kandang sendiri, suporter Arema FC merangsek masuk ke lapangan pertandingan setelah laga usai.
Untuk membubarkan massa suporter Arema FC, pihak kepolisian melepaskan gas air mata. Gas air mata yang disemprotkan oleh pihak kepolisian tidak hanya diarahkan ke kerumunan massa dilapangan, namun juga ke arah tribun penonton. Akibatnya, ribuan penonton panik dan berebut hingga berdesak-desakan untuk keluar dari stadion.
Akibat insiden kericuhan tersebut, 130 nyawa suporter termasuk dua orang petugas keamanan dilaporkan melayang dan hampir 200 orang lainya mengalami luka-luka. Korban tewas dan luka-luka mayoritas disebabkan karna terinjak-injak dan kurangnya pasokan oksigen akibat tembakan gas air mata.
Tak pelak, tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang ini menjadi tragedi kericuhan paling memilukan dalam sejarah persepakbolaan di Indonesia. Tragedi ini memecahkan rekor sebagai tragedi sepak bola dengan total korban tewas terbanyak sepanjang sejarah.
Tentu insiden ini merupakan sebuah kerugian besar bagi dunia persepakbolaan di tanah air. Mengingat, dalam waktu dekat Indonesia dipercaya oleh FIFA untuk menyelenggarakan hajatan Piala Dunia U-20. Atas terjadinya insiden tersebut, dikhawatirkan FIFA akan melakukan evaluasi kembali terkait posisi Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023.
Ada apakah dengan suporter sepakbola di Indonesia?
Mengapa suporter sepakbola di Indonesia begitu sering terlibat kericuhan (rusuh) baik di dalam maupun di luar lapangan? Secara sederhana, beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa suporter sepakbola di Indonesia sering terlibat kerusuhan/kericuhan.
Pertama, kerusuhan/kericuhan atau keributan yang terjadi dalam pertandingan sepakbola di Indonesia menjadi sebuah tradisi.
Mengapa tradisi? Karena menyimak perjalanan sepakbola di negeri ini, mulai dari penulis masih kecil hingga saat ini, yang namanya pertandingan sepak bola, apapun bentuknya, dimanapun lokasinya, apapun levelnya, yang namanya keributan, baik yang terjadi antar penonton, penonton dengan pemain, penonton dengan wasit, penonton dengan panitia, pemain dengan wasit, pemain dengan pemain dan seterusnya adalah hal yang lumrah dan sering kali terjadi.
Karena sudah terlalu sering terjadi, lama kelamaan hal tersebut dianggap sebagai hal biasa hingga seolah menjadi tradisi. Karna seolah sudah menjadi tradisi inilah maka akan sangat sulit untuk menghilangkan kebiasan buruk tersebut.
Maka perlu memangkas generasi dengan tradisi rusuh ini dengan memberikan pembelajaran bagi anak-anak bahwa kerusuhan/kericuhan, pertengkaran, segala hal yang merusak (anarkis) tidak pantas di lakukan oleh siapaun di dalam arena pertandingan. Menjunjung tinggi sportivitas (baca; fairplay) dalam setiap pertandingan, bukan soal kalah dan menang tetapi bagaimana memberikan suguhan pertandingan yang baik dan enak untuk dinikmati.
Kedua, ‘fanatisme berlebih’ terhadap klub sepakbola. Kesukaan terhadap sesuatu secara berlebihan adalah tidak baik dan cenderung merugikan, karna akan mematikan akal sehat kita.
Kecintaan yang berlebihan terhadap klub sepakbola yang kita dukung, menjadikan kita tidak bisa menerima kekalahan yang diderita oleh tim kesayangan dari tim lawan. Padahal tidaklah mungkin suatu tim kesebelasan akan selalu memenangkan setiap pertandingan yang dilakukan tanpa kekalahan sama sekali.
Namun demikian, sebagai masyarakat penggemar olahraga sepakbola, penulis berharap tragedi Kanjuruhan di Malang Jawa Timur adalah tragedi kemanusiaan terakhir di dunia sepakbola tanah air.
Khusus bagi pihak keamanan, harapannya Standar Operasional Prosedur (SOP) penggunaan gas air mata dalam menangani kerusuhan yang terjadi didalam stadion merupakan pendekatan klasik yang perlu ditinjau ulang.
Seluruh insan sepak bola tanah air, mulai dari PSSI, pihak kepolisian, klub sepakbola dan juga suporter harus menjadikan tragedi Kanjuruhan sebagai momentum untuk memperbaiki tata kelola dunia persepakbolaan di Indonesia. Karna masyarakat pecinta sepakbola tanah air saat ini butuh prestasi bukan tragedi. Wallahua’lam bisshawab.
Sumber duta
Comments are closed.