Dosen Gizi Unusa Menilai Produk Halal Tidak Sekedar Bebas Daging Babi

Surabaya – Dosen Program Studi (Prodi) S1 Gizi Fakultas Kesehatan (FKes), Viera Nu’riza Pratiwi, S.TP.,M.Sc menilai produk halal tidak sekedar bebas daging babi.

Viera menjelaskan jika didalam Al Quran sudah menjelaskan apa saja yang haram untuk dimakan. Hal ini akan timbul pertanyaan bagaimana dengan produk makanan dan minuman yang lain, apakah sudah bisa dipastikan halal atau tidak.

“Jadi produk tersebut ketika tidak menggunakan bahan yang telah disebutkan di Al-Quran,” ucap Viera, Selasa (14/7).

Viera menjelaskan dengan semakin majunya teknologi mulai banyak muncul produk makanan dan minuman yang sudah berubah bentuk dan jauh dari bahan aslinya. “Kondisi ini membuat keraguan (syubhat) dari produk tersebut apakah sudah dipastikan halal ataupun sebaliknya,” jelasnya.

Secara umum setiap makanan dianggap halal dalam Islam kecuali dilarang secara khusus oleh Alquran atau Hadits. Menurut definisi, makanan halal adalah makanan yang bebas dari bahan terlarang untuk dikonsumsi umat Islam sesuai dengan hukum Islam (Syariah).

“Jadi makanan maupun minuman halal itu bisa dilihat dari proses, dibuat, atau penyimpanan menggunakan peralatan yang bebas dari cemaran bahan haram,” ucap Viera.

Viera menambahkan jika makanan hasil olahan yang mengandung beberapa bahan tambahan pangan. Sentuhan teknologi membuat ragam makanan semakin banyak dan menggunakan pula bahan tambahan yang dihasilkan dengan proses pengolahan yang komplek.

“Sebagian orang, makanan haram adalah makanan yang mengandung daging babi, padahal tidak sesederhana itu, sehingga makanan maupun minuman yang patut diperhatian seperti menggunaka bahan seperti gelatin, enzim, pengemulsi, dan penambah rasa masih dipertanyakan, karena asal usul bahan ini tidak diketahui,” ucapnya.

Dari satu hewan babi, yang bisa dimanfaatkan tidak hanya sekedar daging, melainkan hampir keseluruhan bagian tubuh. Tulang dan kulit dapat dijadikan sebagai gelatin (pengental) yang umum dimanfaatkan dalam produk permen, jelly, selai, pelembut cake dan biskuit. “Bahkan Bulu babi bisa diambil sistin yang merupakan asam amino dan digunakan dalam peningkat rasa, selain itu juga untuk kuas,” ucap Viera.

Sedangkan, lemak yang dihasilikan dari babi dikenal dengan sebutan lard digunakan dalam campuran minyak, margarin, dan penambah rasa. “Sedangkan organ dalam, mengandung beberapa enzim pencernaan digunakan sebagai media fermentasi seperti rennet (pada industri keju),” ujarnya.

Tak hanya berpotensi dalam makanan dan minuman, beberapa bahan turunan dari babi juga acap kali digunakan dalam beberapa produk farmasi, kosmetik, dan barang gunaan, seperti kapsul obat, kuas, sepatu, tas, dan piring. “Keseluruhan bahan ini merupakan hasil dari penerapan teknologi pengolahan yang semakin maju dan permintaan pasar akan produk olahan yang semakin tinggi,” ungkap Viera.

Sehingga sebagai umat muslim tetap waspada dalam pemilihan produk makanan, minuman, obat,  kosmetik, dan barang gunaan. Langkah yang bisa dilakukan adalah pemilihan produk yang sudah tersertifikasi halal secara resmi.

“Sebagai umat Islam wajib berusaha untuk mendapatkan nutrisi yang berkualitas. Sebuah Hadits menyatakan bahwa salat seseorang ditolak oleh Allah jika makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang dilarang (haram). Oleh karena itu, halal bukan sekedar pilihan. Tetapi bagi umat muslim halal merupakan kewajiban,” jelas Viera. (sar humas)