Surabaya – Dosen Program Studi (Prodi) D-IV Analis Kesehatan Fakultas Kesehatan (FKes), Andreas Putro Ragil Santoso, S.S.T., M.Si mewaspadai keracunan makanan karena bakteri Clostridium Botulinum yang menyerang sistem saraf tubuh.
Andreas menjelaskan Clostridium Botulinum golongan bakteri Clostridum yang bersifat obligat anaerob. Selain itu, bakteri ini memiliki spora, mati diatas suhu 90 derajat celcius dan tahan terhadap lingkungan namun akan aktif ketika kondisi asam.
“Jadi bakteri ini akan aktif pada makanan yang sudah basi jadi ini perlu diwaspada masyarakat,” ucap Andreas, Rabu (6/5).
Kejadian akibat botulisme di Indonesia bisa dikatakan cukup langka namun akibat fatal jika mengalami keracunan makanan akibat Clostridium Botulinum sekitar 65 sampai 70 persen. Racun yang ada pada bakteri ini langsung menyerang sistem saraf seperti saraf otak dan sumsum tulang belakang sehingga mengalami kelumpuhan otot yang bertahap dari tubuh yang diserang hingga pada kaki.
“Bakteri Clostridium Botulinum masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang telah terkontaminasi bakteri ini,” ucap Andreas.
Gejala keracunan bakteri Clostridium Botulinum akan terjadi setelah 18 sampai 36 jam setelah racun masuk kedalam tubuh. Apabila tidak segera ditangani dengan baik akan menimbulkan kejadian yang fatal.
Gejala awal yang sering timbul setelah keracunan seperti tubuh semakin lemah, pusing yang diiringi mual dan muntah, serta kekeringan pada area mulut. Setelah itu reaksi neurologis diantaranya penglihatan yang mulai kabur, ketidakmampuan untuk menelan, kesulitan berbicara, otot rangka mengalami kelemahan serta kelumpuhan pada pernafasan. “Gejala ini yang sering muncul jika memang terkena bakteri Clostridium botulinum,” ucap Andreas.
Toksin yang masuk kedalam tubuh akibat Clostridium botulinum berubah vegetativ maupun spora yang selanjutnya terserap tubuh bagian atas dari saluran pencernaan di duodenum dan jejunum lalu melewati aliran darah hingga mencapai sinapsis neuromuskuler perifer.
“Jadi racun ini malakukan blokade terhadap penghantaran serbut saraf kolinergik yang tanpa mengganggu saraf adrenegik,” ucap Andreas.
Akibatnya blokade yang dilakukan maka pelepasan asetikolin akan terhalang, hal tersebut menyerupai kasian atropine yang menunjukkan manifestasi klinis terdiri dari kelumpuhan flacid yang menyelurug dengan pupil melebar (tidak bereaksi adanya cahaya), lidah mengering, takikardi dan perut akan mengembung.
Selanjutnya otot penelan dan okuler akan terkena sehingga susah untuk dapat menelan dan diplopia menjadi keluhan penderita. Akhihrnya otot pernafasan dan penghantaran impuls jantung sangat terganggu, dan pada akhirnya penderita dapat meninggal karena apnoe dan cardiac arrest.
Faktor resiko botulisme seperti penyalahgunaan Narkoba, Alkohol, Psikotropika dan Zat adiktif (NAPZA) jadi bakteri Clostridium botulinum dapat mengkontaminasi zat yang terkandung dalam narkoba. Selain itu sering mengkonsumsi makanan kaleng yang rendah asam dan kemasan tidak konsidi baik, sering terpapar tanah atau kondisi lingkungan kerja yang bertanah. “Ini banyak terjadi di Indonesia terlebih di lingkungan sekitar kita diantaranya debu, tanah, sungau bahkan didasar laut,” ucapnya.
Bakteri Clostridium botulinum bukan berbahaya apabila kondisi lingkungan normal namun apabila lingkungan rendah akan oksigen maka bakteri ini akan mengeluarkan toksinnya yang berbahaya toksinnya bukan bakterinya.
Kalau berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi tiga seperti botulisme akibat keracunan makanan, botulisme akibat luka yang terbuka, botulisme pada bayi yang terjadi bayi kontak dengan tanah dan konsumsi madu.
Botulisme diagnosa dengan cara wawancara medis oleh dokter terkait makanan yang dikonsumsi dan luka terbuka yang dimiliki pasien (jika ada). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan darah hingga feses oleh pasien dengan pemeriksaan penunjang pada keadaan tertentu yaitu elektromiograf atau pemeriksaan caiaran cerebrospinal.
“Pengobatan yang dilakukan harus segera membawa ke rumah sakit diharapkan untuk mengeluarkan toksin yang masuk dengan cara memberikan peransang muntah, pengosongan lambung serta pemberian obat pencahar,” ungkapnya.
Selanjutnya pemberian antitoksi meskipun tidak bisa menghentikan kerusakan namun dapat memperlambat atau menghentikan kerusakan.
Pencegahan dilakukan memasak makanan diatas 80 derajat celcius dengan waktu minimal 30 menit, memanasakan kembali makanan yang telah dibiarkan serta melihat kondisi makanan kaleng jika kaleng kondisi tidak baik sebaiknya dibuang, serta jangan gunakan NAPZA dan hati-hati pemberian madu pada bayi. (sar humas)