Surabaya – OPOP (One Product One Pesantren) Training Center Unusa bersama Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jatim melakukan studi banding ke OPOP Jabar. Kunjungan selama dua hari (tanggal 29-30 Oktober 2019) mendapatkan banyak informasi terkait OPOP Jabar yang sudah di-launching pada Desember 2018.
“OPOP Jabar sudah berdiri terlebih dulu dibanding OPOP Jatim yang baru di-launching Agustus 2019. Oleh karenanya OPOP Jatim bisa banyak belajar tentang administrasi, produk, dan landasan hukum terkait kejelasan legalitas dan formalitas OPOP Jabar,” kata Direktur OPOP Training Center Unusa Mohammad Ghofirin MPd.
Setelah di-launching Desember 2018, OPOP Jabar langsung membuat kajian akademis . Dari kajian akademis tersebut dibuatlah peraturan gubernur tentang OPOP. Berdasarkan peraturan tersebut gubernur menunjuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pendidikan dan Pelatihan Perkoperasian dan Wirausaha (P3W) Pemprov Jabar.
“Di bawah kendalai UPTD itulah OPOP Jabar dijalankan. Dari studi banding tersebut kami juga mempelajari sistem kompetisi yang diterapkan OPOP Jabar,” kata Ghofirin.
OPOP Jabar membuka pengumuman secara terbuka kepada seluruh pesantren untuk menyeleksi peserta. Saat ini jumlah pesantren di Jabar mencapai 8.000 pesantren. Jumlah tersebut lebih besar ketimbang pesantren di Jatim.
Para pesantren kemudian mendaftarkan diri secara online untuk mengikuti program OPOP. Kemudian seleksi akan dilakukan melalui audisi untuk menentukan pendaftar yang layak menjadi peserta OPOP.
Menurut keterangan H Deni Handoyo, Kepala UPTD P3W Jabar selaku penanggungjawab OPOP Jabar, ada 1.300 pesantren yang mendaftar. Hasil audisi yang dilakukan tersaring 1.072 peserta.
“Jumah terserbut yang ditetapkan sebagai peserta OPOP tahun 2019. Mereka dikirim untuk magang ke lima pesantren besar di Jabar yang disebut sebagai pesantren pembina,” kata Deni melalui Ghofirin.
Setelah melalui proses pemagangan akan disaring lagi menjadi 577 peserta. Para peserta ini nantinya akan mendapat dana hibab sebesar Rp 25 juta untuk startup dan Rp 30 juta untuk startup lanjutan atau skillup. Masing-masing peserta akan didampingi dengan tim pendampingan dan tim juri.
Dari pendampingan tersebut akan terbentuk produk-produk sesuai usulan. Tahap beriktunya akan dipilih lagi 100 peserta, di mana peserta bisnis lanjutan mendapat Rp 200 juta dan bisnis pemula mendapat Rp 150 juta. Hingga akhirnya terpilih 10 peserta terbaik yang akan mendapatkan Rp 400-500 juta tiap peserta (pesantren).
Menurut Ghofirin kompetisi tersebut mengadopsi sistem yang diterapkan one village one product (OVOP) di Jepang. Selain Indonesia, sistem OVOP juga banyak diadopsi negara Asia lainnya dan berhasil.
“Menilik penerapan di OPOP Jabar ini berbeda dengan OPOP Jatim. OPOP Jabar hanya mengurusi pesantren sebagai entitasnya, sedangkan di OPOP Jatim mengusung konsep 3 pilar. Selain pesantren, OPOP Jatim juga mengurus para santri dan alumninya,” katanya.
Hal penting lainnya, lanjut Ghofirin berdasarkan aturan gubernur OPOP Jabar membentuk tim pendamping dan tim juri. Hal itu memudahkan dalam pengelolaan program OPOP.
“Jatim harus banyak belajar dari Jabar, sehingga pengelolaan OPOP Jatim tidak perlu menggunakan cara keroyokan, di mana semua OPD dikerahkan untuk mengurusi OPOP. Menurut saya cara tersebut tidak efektif dan kontra produktif. Ego sentris masing-masing OPD masih nampak, sehingga sulit menyinergikan OPD dalam kerangka besar program OPOP,” kata Ghofirin.(hap/Humas Unusa)