Dosen Unusa Teliti Pengaruh Kepribadian dan Etika Terhadap Korupsi

 Surabaya – Korupsi yang kian masif di negeri ini mayoritas dilakukan  para pejabat publik maupun elite masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi dan mapan.

“Mencermati perilaku korupsi sekarang ini, para koruptor tak lagi korupsi untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup pokok, tapi lebih untuk memenuhi berbagai hasrat atau keinginan. Maka wajar jika korupsi bakal terus terjadi,” kata Dosen Prodi S1 Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Mohammad Ghofirin S.Pd., MPd., Senin (13/5).

Masifnya korupsi di kalangan orang-orang berpendidikan dan mapan telah mendorong Ghofirin bersama dr Hafid Algristian SpKJ, dosen pendidikan dokter Unusa, melakukan penelitian tentang korelasi antara faktor kepribadian dan etika terhadap kecurangan akuntansi.

Menurut Ghofirin, penelitiannya berawal dari kegalauan melihat fenomena kecurangan (fraud) yang banyak terjadi di kalangan staf akuntansi. Posisi yang biasanya diisi orang-orang berpendidikan tinggi dan mapan.

“Kami menjadi tertarik untuk meneliti, apakah ada hubungan antara kepribadian yang salah atau terganggu, sehingga mereka melakukan fraud. Dalam analisa sederhana, orang yang melakukan tindakan kejahatan (termasuk fraud) adalah orang yang tidak etis. Nah apakah sebenarnya orang yang korupsi juga tidak memiliki etika?” katanya.

Sementara dr Hafid Algristian mengatakan, berdasarkan ilmu kedokteran jiwa ada empat aspek kesehatan jiwa pada diri pelaku fraud. Pertama, terdesak kondisi ekonomi-sosial, kedua adanya kesempatan, ketiga kepribadian (psikopat), dan keempat abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

“Dalam ilmu kesehatan, abuse of power ini sama dengan bullying. Salah satu sifat yang muncul karena niat untuk kejahatan (tindak kekerasan). Dalam rumah tangga adalah KDRT. Dan fenomena di negara kita, KDRT masih banyak ditutupi (tidak dilaporkan) dalam upaya melindungi si pasangan,” katanya.

Dengan ilustrasi yang sama, lanjut dr Hafid, budaya di negara kita juga masih cenderung menutupi kekerasan yang terjadi jika terjadi fraud. “Kita mengetahui banyak kejadian fraud di sekitar kita, namun tidak dilaporkan karena kita merasa kasihan,” katanya.

Selain itu, masyarakat kita juga cenderung permisif atau pemaaf. “Kondisi budaya kita yang masih seperti itulah berpotensi terjadinya sebuah fraud (korupsi). Jelas-jelas kita mengetahui ada sebuah tindak kecurangan, namun karena rasa kasihan dan permisif itulah ada kecenderungan pembiaran fraud terjadi,” katanya. (hap/Humas Unusa)