Surabaya – Peringatan Down Syndrome Sedunia seharusnya menjadi titik untuk mengevaluasi peran masyarakat memanusiakan anak-anak penyandang down syndrome.
Kemarin (16/3) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) turut memperingati Hari Down Syndrome Sedunia. Kata Achmad Jazidie, Rektor Unusa, keikutsertaan Unusa dalam memperingati hari down syndrome sebagai bentuk kepedulian tentang stigma yang salah di masyarakat.
”Kami mengajak orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus untuk tidak malu dan bisa mengetahui bahwa anak tersebut benar-benar mammpu berbuat seperti anak normal lainnya. Mereka bukan penderita, karena mereka tidak menderita,” ungkapnya, disela acara di Royal Plaza Surabaya.
Mengutip dari Clinic for Children, Jazidie mengungkapkan, dalam 17 tahun terakhir jumlah kelahiran down syndrome meningkat cukup pesat dengan perbandingan 1:700 dari kelahiran hidup. Saat ini jumlahnya masih belum diketahui pasti. Diseluruh dunia jumlah mencapai 8 juta kasus.
Sedangkan di Indonesia diperkirakan ada lebih dari 3 ribu kasus (3.75 persen). Di Surabaya sendiri diperkirakan mencapai 924 anak. Angka ini diperoleh dari perhitungan perbandingan kelahiran anak down syndrome dengan jumlah anak usia 0-18 tahun di Surabaya yang mencapai 659.328 anak.
”Dengan intelegensi yang rendah, anak down syndrome perlu dilatih terus menerus untuk bisa mandiri. Keikutsertaan komunitas dan civitas Unusa untuk mendampingi adalah salah satu langkah dalam membangun kepercayaan diri dan kemandirian. Saya kira masih sedikit perguruan tinggi yang peduli dan bahkan menerima anak down syndrome. Unusa adalah yang sedikit itu,” jelasnya.
Mengambil tema ‘Down Syndrome Hebat’ acara yang dikemas dalam bentuk talkshow ini menghadirkan para pakar dan praktisi antara lain dari Direktorat PKLK Kemendikbud, Praktisi, dan Akademisi. Mereka membahas masalah down syndrome dari berbagai sisi, mulai pendidikan, medis, hingga kebijakan dan cara menangani anak-anak down syndrome.
Selain talkshow, Unusa juga mengajak Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) Surabaya, Lembaga Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Yayasan Penyelenggara Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, dan Komunitas Anak Berkebutuhan Khusus menggelar serangkaian Lomba Kreasi Okupasi, unjuk kreativitas penampilan dan unjuk produk hasil karya Anak Berkebutuhan Khusus.
Down Syndrome Bukan Kutukan
Hari Down Syndrome Internasional yang jatuh setiap tanggal 21 Maret, merupakan hari istimewa bagi mereka yang menghadapi sindrom ini di seluruh dunia. Hari itu diperingati setiap tahun dengan berbagai pelaksanaan aktivitas dan acara untuk meningkatkan kesadaran awam terhadap hak dan kesejahteraan kepada mereka yang mengalami penyakit ini.
Anak yang terkena down syndrome bukanlah sebuah kutukan dalam keluarga. Mereka hanya memiliki kelebihan satu kromosom (47 kromosom). Karena secara normal ada 46 kromosom dalam sel seseorang, yang diwariskan masing-masing 23 dari ayah dan ibu. Penderita down syndrome biasanya memiliki perkembangan lebih lambat, baik dari segi motorik, sosialisasi maupun kognisi.
Penderita down syndrome memang terlambat dalam proses pertumbuhannya dibanding anak normal. Meski demikian banyak bukti yang menunjukkan bahwa penderita down syndrome bisa berprestasi dan hidup mandiri.
Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John Longdon Down. Gejala yang muncul akibat down syndrome dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. (Humas Unusa)