(Hari Jadi RSI Jemursari ke-14) RSI Surabaya – Unusa Fokus di Bidang Kesehatan

Surabaya:
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) bersama dua Rumah Sakit Islam Surabaya (RSI) masing-masing RSI A. Yani dan RSI Jemursari yang berada dalam satu wadah Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya (Yarsis), akan lebih fokus pada bidang kesehatan. Ini karena kompetensi yang dimiliki Yarsis ada di ranah kesehatan.

Demikian diungkapkan Prof Dr Ir Mohammad Nuh, DEA , selakuk Ketua Yarsis disela acara peringatan ulang tahun RSI Jemursari ke-14, Minggu (29/5) siang, yang menggelar acara jalan sehat di depan halaman Rumah Sakit Islam Jemursari. Kegiatan ini merupakan bentuk syukur atas hari jadi RSI Jemursari Surabaya ke-14.

“Para pendiri Yarsis sudah punya jangkauan besar pada dua bidang yaitu, Pendidikan dan Kesehatan. Ini terkait dengan pengembangan sumber daya manusia. Mereka paham benar bahwa kunci kualitas Indonesia adalah kualitas sumber daya manusia,” katanya.

Oleh karena itu, kata Nuh menambahkan, pihaknya bertekad betul untuk menyatukan antara bidang pendidikan dan bidang kesehatan, khususnya pendidikan tinggi. “Itu sebabnya Unusa akan lebih fokus dengan bidang kesehatan, karena kompetensi kami diranah kesehatan. Kami baru saja mendapatkan izin untuk menyelenggarakan S2 Keperawatan dan nantinya akan ada S2 yang lainnya,” katanya.

Nuh menambahkan, pihaknya juga kini mulai mengembangkan program D3 Teknologi Penanganan Jantung, D3 Fisioterapi. “Kebutuhan bidang ini sangat luar biasa, karena itu Yarsis tidak perlu lari terlalu jauh pada bidang-bidang lainnya, kami fokus untuk memperkuat kualitas pada bidang pelayanan kesehatan,” ungkapnya.
Nuh juga mengungkapkan bahwa kini Unusa mulai menyiapkan rumah sakit pendidikan, sebagai bagian dari dimilikinya fakultas kedokteran. RSI Surabaya mulai didesain untuk menuju rumah sakit pendidikan, mudah-mudahan tahun 2017 mulai kita terapkan.

“Ke depan Unusa akan memperkuat out put untuk dapat memasok kebutuhan RSI surabaya dan rumah sakit lainnya. Kami akan meningkatkan kualitas peralatan dan sebagainya, kalau kita impor peralatan dari luar negeri biayanya sangat besar, akhirnya kami memiliki rencana untuk membuat peralatan yang dapat dijangkau,” katanya.
Untuk langkah itu, Nuh sudah mengajak kawan-kawan jurusan Biomedika ITS untuk mengembangkan stimulator-stimulator, kemudian akan ke peralatan lainnya. Tidak mungkin kita dapat mengembangkan peralatan medis kalau tidak ada rumah sakit dan dokternya, siapa yang mau mencoba. Sehingga dapat menjadi sebuah kesalahan besar, kalau mencoba peralatan tanpa ada pendampingan dari seorang dokter. Kami ingin ITS (Jurusan Biomedika–red) bisa memperkuat bidang-bidang di RSI Surabaya,” kata Mantan Mendikbud ini menambahkan.

Melalui cara ini, kita dapat mengembangkan peralatan medis lebih murah. Nuh mencontohkan, untuk membeli satu alat stimulator fisioterapi, harganya bisa mencapai Rp 50 juta hingga Rp 60 juta. Padahal jika dibuat sendiri, paling mahal harganya Rp 15 juta. Ke depan jika sudah dilakukan uji klinis di RSI Surabaya dan telah tersertifikasi oleh pihak-pihak terkait, maka alat-alat tersebut bisa digunakan di rumah sakit lain.

“Kami akan bekerjasama dengan entitas-entitas bisnis perumah sakitan, perusahaan obat, perusahaan alat kesehatan, supaya layanan kepada masyarakat semakin baik dan semakin terjangkau, kita tidak ingin layanannya baik tetapi biayanya sangat mahal, sebenarnya hal itu biasa dilakukan dengan efesiensi dan memanfaatkan sinergi. Kita ingin betul kualitas layanan lebih baik, terjangkau, baik dari masyarakat yang membayar perorangan maupun yang ditanggung pemerintah lewat BPJS,” katanya. (Humas Unusa)