Unusa Datangkan Praktisi Disleksia

Surabaya

Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) mendatangkan praktisi terkait gangguan disleksia dalam acara Seminar Pendidikan Nasional dengan tema “Pengenalan dan Optimalisasi Pembelajaran Anak Disleksia” di Aula Kampus A Unusa, Rabu (19/10) siang. Chusnul Ismiati, S.H, pelindung dari organisasi Dyslexia Parents Support Group Jawa Timur, hadir sebagai pembicara.

Sebanyak 315 peserta turut hadir mengikuti paparan materi dari perempuan yang menjabat sebagai Ketua Perwosi Surabaya. Materi yang disampaikan dengan judul lebih dalam mengenal dan memahami disleksia.

Disleksia  adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. “Pada umumnya keterbatasan ini hanya ditujukan pada kesulitan seseorang dalam membaca dan menulis, akan tetapi tidak terbatas dalam perkembangan kemampuan standar yang lain seperti kecerdasan, kemampuan menganalisa dan juga daya sensorik pada indera perasa,” ungkapnya.

Perempuan istri dari Hendro Gunawan, Sekretaris Daerah Kota Surabaya ini melajutkan, penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat sebagai penderita. Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik, tapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah, kiri dan kanan, dan sulit menerima perintah yang seharusnya dilanjutkan ke memori pada otak. “Hal ini yang sering menyebabkan penderita disleksia dianggap tidak konsentrasi dalam beberapa hal,” katanya menambahkan.

“Banyak orang yang menganggap bahwa disleksia dapat mempengaruhi tingkat inteligensi atau kecerdasan penderitanya, tapi anggapan ini tidaklah benar. Anak dengan tingkat kecerdasan baik rendah maupun tinggi, bisa menderita disleksia,” katanya.

Penyebab disleksia belum diketahui secara pasti. Namun Para pakar menduga, bahwa faktor keturunan atau genetika berperan di balik gangguan belajar ini. Seorang anak memiliki risiko menderita disleksia jika orang tuanya menderita gangguan yang sama. Gejala-gejala dalam disleksia sangat bervariasi dan umumnya tidak sama untuk tiap penderita, sehingga sulit dikenali, terutama sebelum sang anak memasuki usia sekolah. Ada beberapa gen keturunan yang dianggap dapat memengaruhi perkembangan otak yang mengendalikan fonologi, yaitu kemampuan dan ketelitian dalam memahami suara atau bahasa lisan. Misalnya membedakan kata “paku” dengan kata “palu”. (Humas Unusa)