Surabaya – Banyak pengalaman berharga yang diterima tiga dosen Fakultas Teknik Unusa saat menjadi dosen pengajar di Guilin University of Electronic Technology (GUET), Guangxi, China. Ketiganya adalah Dekan FT Dr Istas Pratomo MT; Rizqi Putri Nourma Budiarti MT dan Ima Kurniastuti ST, dosen Program Studi Sistem Informasi.
Ketiganya mengajar ilmu komputer di GUET, sejak 9 Desember 2019 hingga 7 Januari 2020. Dr Istas mengajar Theory and Application of Single Chip Microcomputer dan Interchangeability and Technology Measurement, sementara Rizqi mengajar Principle of Database System, sedangkan Ima mengajar Software Engineering.
Ketiganya tiba Guilin pada Jumat pagi (6/12). “Kami dijemput mahasiswa yang rupanya menjadi petugas penerima tamu. Kami dari bandara langsung diajak menuju asrama atau dormitori,” kata Istas.
Begitu masuk kamar, sudah disediakan kartu mahasiswa yang ternyata juga berfungsi sebagai e-money yang berisi 1.500 yuan atau sekitar Rp 3 juta. Kartu tersebut bisa dipergunakan untuk membeli berbagai fasilitas di kamar, seperti air panas untuk mandi, menyalakan pemanas ruang, atau menyalakan listrik. Selain itu, kartu mahasiswa juga bisa dipergunakan membeli makanan di kantin.
“Di kamar itu juga telah disiapkan jadwal mengajar. Jadwal diuraikan secara rinci. Mulai dari hari, jam, dan bahkan ruangan di gedung mana selama kami di GUET. Maklum kampusnya sangat luas,” kata Istas.
Tak hanya itu, ketiganya juga diminta membuka rekening bank setempat untuk transfer gaji selama menjadi dosen pengajar di GUET. “Nanti saat akhir sebelum pulang, kami harus serahkan semua nilai mahasiswa, silabus, dll, agar gaji kita cair,” kata Istas sembari tertawa.
Selanjutnya pada Sabtu atau hari kedua, Istas dan dua dosen dibawa mahasiswa penerima tamu berkeliling kampus agar mengenal GUET, serta menunjukkan lokasi mereka nantinya mengajar. Mereka diajak meninjau perpustakaan, gedung rektorat, gedung kuliah, kantin pusat, hingga stadion.
Pada hari Minggu, ketiganya diajak naik shuttle bus untuk berkeliling kota Guilin. “Jadi kalau misalnya Surabaya, kampus GUET itu berada di Kenjeran atau daerah pinggir,” jelasnya.
Selama di GUET, ketiganya tinggal di asrama internasional yang memang diperuntukkan bagi mahasiswa dari berbagai negara. Asrama internasional ada tiga gedung, yakni gedung 31, 32 dan 33. Tiap kamar terdiri dari kamar tidur, kamar mandir, tempat cuci dan dapur. Fasilitas yang ada cukup lengkap, mulai meja belajar, lemari, televisi, microwave, hingga kulkas.
“Kami menempati Gedung 32. Di pintu masuk asrama atau gerbang kampus, setiap orang harus scan wajah dulu baru bisa masuk. Jadi di sini sangat aman,” kata Istas.
Meski di negara China, jangan membayangkan sulit mendapatkan makanan halal. Pasalnya, kantin GUET yang terdiri dari 3 lantai menyediakan berbagai makanan halal bagi mahasiswa atau dosen tamu dari negara-negara Islam seperti Pakistan, Kazakstan, atau Indonesia. Menu yang disediakan cukup lengkap. Buktinya Istas bisa menyantap nasi goreng favoritnya, Rizqi mendapatkan ramen pake telur, sedangkan Ima bisa menyantap beef potato kesukaannya.
Tak hanya itu, persoalan ibadah ketiga dosen juga lancar. “Di areal kampus terdapat dua masjid, sehingga kami tidak kesulitan beribadah,” kata Rizqi.
Areal kampus GUET dikelilingi gunung-gunung sehingga pemandangannya sejuk dan indah. Berbeda dengan gunung di Indonesia yang tinggi dan landai, gunung di kawasan tersebut bentuknya lebih lancip. Areal kampus begitu luas karena GUET menampung lebih dari 37 ribu mahasiswa dan 2.500 staf akademis.
“Ada dua kampus yakni kampus A yang bangunannya lebih tua dan kampus B. Dari kampus A ke kampus B atau sebaliknya biasanya kami naik bis. Ada juga disediakan bis yang menuju arah kota, lama perjalanan kampus ke kota sekitar 30 menit,” kata Ima.
GUET merupakan salah satu dari empat universitas di China yang fokus pada bidang teknologi elektronik. GUET yang berdiri tahun 1960 disupport Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi China. Maka wajar jika GUoT termasuk universitas bergengsi di Guangxi Zhiang karena memiliki multidisiplin ilmu keteknikan dan teknlogi informasi.
Menurut Dr Istas, kegiatan mereka menjadi dosen tamu di China diperlukan sebagai syarat akreditasi prodi maupun universitas. Jika sebelumnya mensyaratkan adanya dosen dari luar negeri mengajar di universitas, kini ditambah syarat universitas harus mengirim dosennya menjadi dosen tamu di luar negeri.
Jadi apa yang hal berkesan buat ketiganya menjadi pengajar di GUET?
Rizqi dan Ima mengaku sangat menikmati suasana berkeliling kampus di malam hari dengan sepeda yang disediakan GUET. Sepeda tersebut bisa disewa dengan tarif antara 12-14 yuan (Rp 28.000) sebulan.
“Sepeda ini bisa digunakan semaunya kemana pun di areal kampus satu bulan penuh. Jadi saat cuaca sangat dingin di malam hari , itung-itung berolah raga menghangatkan tubuh dengan bersepeda sambil keliling menikmati pemandangan kampus,” kata Rizqi.
Sementara menurut Dr Istas, ada beberapa hal yang tak dirasakannya saat menjadi dosen di Indonesia. “Pertama mengajar pakai jaket tebal, kemudian mengajar mahasiswa yang semuanya berwajah dan berbahasa asing,” kata Istas sembari menyebut suhu di GUET sekitar 9 derajat Celcius.
Kemudian hal lainnya, berangkat ngajar dibonceng mahasiswa yang sepeda motor listriknya harus dicharge terlebih dulu. Juga, masuk kampus atau asrama harus menunjukkan wajah (scan wajah). “Dan terakhir, makan di kantin atau beli barang di toko kampus cukup pakai kartu mahasiswa,” pungkasnya sembari terbahak.(hap/Humas Unusa)