Surabaya – Indonesia dengan pendudukan muslim terbesar dunia memiliki 20 ribu pesantren dengan 4 juta santri. Moral para santri akan berpengaruh besar terhadap kondisi Bangsa Indonesia.
“Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin berkarakter rabbani, pemimpin yang mampu menjawab berbagai persoalan bangsa, pemimpin yang berjiwa rahmatan lil alamin. Dan, pemimpin itu lahir dari rahim pesantren,” kata Dekan Fakultas Kedokteran Univeritas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Dr Handayani M Kes pada Haflah Ayo Mondok dan Megengan yang digelar Unusa dan TV 9, Jumat (3/5/2019) malam.
Dr Handayani menegaskan dalam mengantarkan bangsa menuju Indonesia emas, Unusa bersiap untuk menjadi perguruan tinggi terbaik. Meski baru berusia 5 tahun 9 bulan, Unusa sudah mampu sejajar dengan kampus favorit di Jawa Timur.
“Kiprah Unusa di masyarakat sudah tampak nyata melalui pendidikan dan kesehatan. Fakutas kedokteran Unusa akan mengawal dan mengembangkan, khususnya kedokteran pencegahan di pesantren,” kata Dr Handayani.
Saat ini FK Unusa bekerja sama dengan Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI), asosiasi pondok pesantren NU, memiliki pesantren binaan. FK Unusa secara rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di berbagai pesantren di Jatim.
“Unusa juga menyediakan kuota khusus bagi mahasiswa dari pesantren melalui dengan program kemitraan pesantren. Kita berharap melalui program tersebut, lulusan dokter kembali ke pesantren. Sehingga kelak membantu mewujudkan kemajuan dan kejayaan Indonesia,” katanya.
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim KH Marzuki Mustamar, yang turut hadir dalam acara pergelaran seni dan kesusastraan menyambut Ramadan 1440 H tersebut, mengucapkan selamat dan mendoakan Unusa semakin maju dan semakin besar.
“Saya bermimpi suatu saat Unusa menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional dan terakreditasi internasional,” katanya di ruang auditorium lantai 9 Tower Unusa Kampus B Surabaya.
KH Marzuki mengajak para mahasiswa menimba ilmu yang diwarisi Rasulullah. Sebagai santri yang mondok di pesantren juga harus mewarisi apa yang dirasakan, dikerjakan, dan diamalkan Rasulullah.
“Meski belajar agama di pondok, bukan berarti tidak mengenal tradisi dan budaya. Karena tradisi dan budaya adalah NKRI harga mati. Konyol banget jika hidup beragam tanpa budaya, mengabaikan cipta, rasa dan karsa manusia.”
“ Dengan karsa kita menjadi niat. Ibadah tidak sah tanpa niat. Apa yang kita rasa itu yang kita niatkan. Urip duwe roso akhire duwe rumongso. Wong sing duwe rumongo kuwi ngrumangsani. Inilah yang membentuk sebuah komunitas, membentuk budaya tanpa menggadaikan hati. Dan pesan saya kepada anak muda, ayo mondok,” pungkas KH Marzuki. (hap/Humas Unusa)