Banjir Hingga Longsor Bukan Lagi Bencana Alam, Tapi Teror Ekologis

Surabaya – Banjir bandang dan longsor di Sumatera menjadi perhatian masyarakat luas. Bukan lagi masyarakat di Indonesia, namun juga masyarakat Mancanegara.

Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) Agus Wahyudi yang juga pegiat lingkungan menjabarkan pendapatnya mengenai kejadian tersebut. Banjir bandang dan longsor di Sumatera kerap disebut sebagai bencana alam.

Menurutnya istilah ini menyesatkan. Pasalnya statement ini menyamarkan fakta bahwa bencana itu ada akibat alam yang hancur karena perusakan lingkungan yang disengaja, sistematis, dan diketahui resikonya,

Dalam hal ini yang terjadi di Sumatera lebih tepat disebut sebagai terorisme ekologis. Atau kekerasan terhadap ruang hidup yang dilakukan melalui kebijakan, izin dan pembiaran. “Dalam konteks ini, bencana dipahami sebagai proses sosial-politik bukan semata peristiwa geofisika,” tuturnya.

Bencana ini hadir atas lanskap yang dipaksa kehilangan kemampuan alaminya untuk menahan air dan tanah. Penebangan hutan di hulu, lereng yang dibuka tanpa kendali, kawasan aliran sungai disempitkan, rawa dan gambut dikeringkan. Hujan, hal yang normal terjadi berubah menjadi ancaman karena kondisi alam yang tak lagi sama.

Dalam banyak kasus, peta bencana berimpit rapi dengan peta konsesi. Ini bukan kebetulan. Negara dan korporasi mengetahui dengan sangat jelas bahwa pembukaan hutan di wilayah hulu, akan meningkatkan resiko banjir dan longsor di hilir. Laporan ilmiah, peringatan ahli, bahkan pengalaman bencana sebelumnya telah berulang kali disampaikan.

”Namun, aktivitas perusakan terus berlangsung. Ketika resiko telah diketahui dan korban terus berjatuhan, kita bukan lagi bicara soal kelalaian, melainkan kekerasan yang disengaja melalui keputusan ekonomi-politik,” tegas Agus.

Berdasarkan data dari Kompas per 17 Desember, jumlah korban tewas dalam banjir Sumatera Barat, SUmatera Utara, dan Aceh sudah mencapai 1.059 orang. Sebanyak 200 orang masih dinyatakan hilang dan sekitar 600.000 warga mengungsi.

Seperti terorisme, “terorisme ekologis”p menciptakan ketakutan kolektif yang berulang. Setiap musim hujan, warga desa hidup dalam kecemasan. Rumah, ladang, sekolah hingga tempat ibadah bisa hilang dalam hitungan menit. Tidak ada sirine, tidak ada peringatan dini yang memadai – hanya kepastian bahwa bencana akan datang lagi.

Ketakutan ini bersifat struktural, diwariskan dari satu musim ke musim berikutnya. Dampaknya bukan hanya korban jiwa dan kerugian materi tetapi juga kehancuran sosial dan kultural.

Komunitas adat dan masyarakat pedesaan di Sumatera memiliki hubungan ekologis yang intim dengan hutan dan sungai. Ketika tanah longsor menimbun permukiman dan banjir merusak sawah, yang hilang bukan lagi sekedar aset ekonomi. Melainkan sistem pengetahuan, ritme hidup dan martabat kolektif.(Humas Unusa)