Pentingnya Kesadaran Menjaga Kesehatan Respirasi

Surabaya – Kesehatan respirasi adalah kondisi kesehatan yang berkaitan dengan saluran pernapasan. Dalam dunia kedokteran juga sering dikenal dengan pulmonologi. Kesehatan respirasi sendiri menjadi pilar utama dalam menjaga kualitas hidup manusia. Menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan respirasi semakin kompleks, di tengah meningkatnya polusi udara, perubahan iklim juga gaya hidup modern.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tuberkulosis (TB) menjadi penyakit 10 terbesar penyebab kematian di seluruh dunia. Sementara itu menilik data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), anggaran yang dikeluarkan untuk menangani penyakit respirasi terbilang tinggi. 

Dalam kuliah pakar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) pada Rabu (22/10) kemarin, Ketua Capture Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Kolegium Penyakit Dalam Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, Sp.P(K), menyampaikan gagasannya. Kesehatan respirasi di Indonesia saat ini menghadapi banyak tantangan. 

Mulai dari penyakit infeksi yang belum bisa terkontrol, seperti TB dengan kasus 385 kasus per 100.000 penduduk di Indonesia. Angka ini membuat Indonesia menempati posisi kedua setelah India sebagai penderita TB terbanyak di dunia berdasarkan Global TB report 2023. “Bahkan sekarang ada program TOSS TB, temukan obati sampai sembuh tuberkulosis. Pemerintah memiliki target tahun 2050 bebas TB,” jelas Prof. Wiwien.

Tantangan lainnya yakni beban penyakit respirasi kronik. Dua diantar 10 penyakit dengan kasus terbanyak per 100.000 penduduk merupakan penyakit respirasi kronik, yaitu Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dan Kanker Paru. “PPOK dengan 145 kasus per 100.000 penduduk dengan 78,3 ribu kematian, serta Kanker Paru dengan 18 kasus per 100.000 penduduk dengan 28’6 ribu kematian,” tuturnya. 

Serta tantangan yang hingga saat ini masih menghantui masyarakat Indonesia adalah polusi udara dan jumlah perokok yang terus meningkat. Bahkan jumlah perokok di Indonesia saat ini mencapai puluhan juta. “Mirisnya, saat ini anak SD atau SMP itu sudah mulai merokok,” ungkap dokter spesialis paru tersebut.

Menurutnya peraturan yang tidak ketat terhadap para perokok maupun pemasarannya. Seringkali ditemukan ketika suatu lingkungan atau ruang publik yang tidak diperbolehkan untuk merokok, akan tetapi penjaganya melanggar peraturan tersebut. “Sehingga tidak sinkron, yang juga membuat masyarakat jadi menyepelekan,” ujarnya. 

Prof. Wiwien mengungkapkan bahwa epidemiologi penyakit respirasi terbagi menjadi asma, PPOK, juga TB. Berdasarkan data dari Global Initiative for Asthma (GINA) prevalensi penderitanya di Asia Tenggara termasuk Indonesia, sekitar 2-10%. “Dengan peningkatan resiko pada anak-anak dan remaja, lebih tinggi di daerah perkotaan akibat polusi udara dan asap rokok,” bebernya. 

Menurutnya penting bagi dokter untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat akan penyakit respirasi. Penyakit ini menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Bahkan sektor ekonomi dan sosial juga terdampak, terutama di negara berkembang. Mengulik data dari Katadata, faktor paling besar yang mempengaruhi penyakit kritis yakni merokok. 

“Rokok berkontribusi hingga 80-90% dari semua kasus PPOK di Indonesia, dan menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia,” bebernya.

Ketua Capture Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Kolegium Penyakit Dalam itu menegaskan bahwa rokok biasa maupun rokok elektrik memiliki dampak yang sama. Kandungan zat-zat kimia seperti nikotin dan karsinogen ini dapat menyebabkan kerusakan pada paru dan memperburuk kondisi kesehatan paru. 

Mengatasi kondisi ini dunia kesehatan telah mengeluarkan berbagai inovasi untuk mencegah meningkatnya penderita penyakit respirasi. Seperti kerjasama antara PDPI dan pemerintah dalam meningkatkan standar pelayanan kesehatan respirasi, menurunkan prevalensi penyakit hingga penguatan sistem rujukan. 

“Edukasi masyarakat mengenai gaya hidup sehat dan pencegahan dini harus terus ditingkatkan,” tutupnya. (Humas Unusa)