Surabaya – Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) berkomitmen menjadi perguruan tinggi yang bermanfaat bagi masyarakat dan terbuka bagi siapapun yang ingin menempuh pendidikan tinggi. Dalam mendukung hal ini Unusa memiliki beberapa jalur pendaftaran, dan salah satunya merupakan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). Program beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia kepada generasi muda yang memerlukan dukungan biaya pendidikan.
Rektor Unusa Prof. Ir. Achmad Jazidie pernah menyebutkan jika kuota KIP-K setiap perguruan tinggi tidak sama, dan ditentukan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Tahun ini untuk pertama kalinya, Unusa memiliki 5 kuota KIP-K untuk Fakultas Kedokteran. Menjadi kebanggaan bagi Unusa bisa memfasilitasi para penerima KIP-K untuk belajar Kedokteran, yang mana kita ketahui memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Beberapa dari mereka membagikan kisah perjuangan mereka untuk bisa berkuliah. Seperti mahasiswa asal Muara Enim, Sumatera Selatan Putri Yanti yang harus gap year selama dua tahun. Sempat merasa terpuruk karena tidak lolos di berbagai jalur pendaftaran baik nasional maupun mandiri dari perguruan tinggi tertentu. “Udah belajar, bahkan aku juga punya teman online yang senasib. Lulus 2023, tapi baru kuliah tahun 2025,” ungkapnya.
Dengan menahan tangisannya, Putri menceritakan ditengah perjuangannya untuk bisa kuliah dia juga sempat bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Mengingat sang ibu pedagang yang pendapatannya tidak pasti. “Tapi 2024 itu akhirnya berhenti kerja buat fokus ngejar SNBT, tapi ternyata nggak lolos juga, sempat daftar PTS lain juga,” bebernya saat diwawancara Senin (8/9) pagi.
Tidak menyerah, dirinya mencoba mencari tahu informasi soal beasiswa KIP-K dan menemukan Unusa menerima mahasiswa KIP-K Kedokteran. Semangat belajarnya kembali tumbuh, karena melihat harapan lain. “Alhamdulillah lolos, aku seneng banget karena dari kecil pengen banget jadi dokter spesialis Kandungan. Lewat beasiswa ini kasih harapan baru buat aku sama ibu dan adek,” tegasnya.
Selain itu, Anjhely Andreani yang berasal dari Prabumulih Sumatera Selatan juga memiliki harapan besar sebagai seorang dokter. Tekad yang berasal dari segala keterbatasan di daerah asalnya. “Tenaga kesehatannya itu sangat terbatas, bahkan di satu kecamatan dengan jumlah warga yang ribuan itu cuma ada satu dokter,” bebernya.
Meskipun biasanya warga berobat ke bidan, jumlah bidan yang ada pun juga terbatas. Hanya ada dua bidan di satu desa. Kondisi ini yang memicunya ingin menjadi dokter dan mampu menolong orang-orang di kampung halamannya. “Semua juga karena dukungan dari keluarga, terutama ibu,” imbuhnya.
Walaupun sejak usia 9 tahun kehilangan sosok ayah karena kedua orang tuanya berpisah, keteguhan Anjhely sebagai anak pertama untuk membawa keluarganya menjadi lebih baik lagi tidak tergoyahkan. “Meskipun sempat berpikir untuk tidak kuliah, tapi karena teman-teman SMA saya yang berambisi untuk berkuliah. Membuat saya juga memikirkan untuk lanjut kuliah,” terangnya.
Begitu juga dengan Zahrotul Aini asal Situbondo Jawa Timur yang mendapat dukungan penuh dari keluarganya karena impiannya menjadi dokter. Dirinya sadar biaya yang diperlukan untuk sekolah kedokteran sangat besar, namun ayahnya meyakinkannya untuk tetap bisa kuliah.
“Apalagi tahun lalu, ibu saya juga divonis kena hiperglikemia. Saya jadi makin kekeuh untuk bisa jadi dokter, supaya bisa mengobati ibu saya dan orang-orang di sekitar saya,” ungkapnya.
Baginya dokter bukan hanya profesi yang mengajarkan kita cara menyelamatkan nyawa seseorang, namun juga soal kemanusiaan. Bagaimana cara kita mendengarkan keluhan pasien, cara kita menangani pasien, serta cara kita menghadapi pasien dengan beragam latar belakang. (Humas Unusa)
English

