Yurike Septianingrum, S.Kep.Ns., M.Kep – Dosen Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK)
STROKE merupakan penyakit tidak menular yang menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia. Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi stroke di Indonesia meningkat seiring bertambahnya usia, kasus stroke yang terdiagnosis tertinggi pada usia 75 tahun ke atas (50,2%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun (0,6%).
Jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki (11,0%) dibandingkan perempuan (10,9%). Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi stroke di perkotaan lebih tinggi (12,6%) dibandingkan dengan di perdesaan (8,8%).
Salah satu masalah fisik yang menonjol pada penderita stroke adalah kelemahan, bahkan kelumpuhan anggota gerak, kondisi ini menyebabkan pasien stroke mengalami keterbatasan dalam menjalankan fungsinya dalam aktivitas sehari-hari, pasien stroke mengalami penurunan dalam melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami stroke.
Pasien stroke yang mengalami kelemahan pada satu sisi anggota tubuh disebabkan oleh penurunan tonus otot, sehingga tidak mampu menggerakkan tubuhnya (imobilisasi). Hemiparasis disebabkan karena hilangnya suplai saraf ke otot sehingga otak tidak mampu untuk menggerakkan ekstremitas, hilangnya suplai saraf ke otot akan menyebabkan otot tidak lagi menerima sinyal kontraksi yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran otot yang normal sehingga terjadi atropi.
Atropi otot akibat kurangnya aktivitas dapat terjadi hanya dalam waktu kurang dari satu bulan setelah terjadinya serangan stroke. Kontraktur merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan kemampuan pasien penderita stroke dalam melakukan rentang gerak sendi.
Kontraktur diartikan sebagai hilangnya atau menurunnya rentang gerak sendi, baik dilakukan secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong, otot dan kulit. Penderita stroke harus diberikan intervensi kesehatan agar tidak berdampak pada kecacatan dan kematian.
Intervensi yang dapat dilakukan pada pasien stroke selain terapi medis, yaitu terapi rehabilitasi terapi cermin, yaitu terapi rehabilitasi yang mengandalkan dan melatih motor imagery/imajinasi pasien.
Penggunaan cermin akan memberikan stimulus penglihatan kepada otak saraf motorik serebral yaitu ipsilateral. Terapi cermin adalah intervensi terapi alternatif yang berfokus pada menggerakkan anggota tubuh yang tidak terpengaruh dengan menggunakan cermin untuk menyampaikan rangsangan visual ke otak melalui pengamatan bagian tubuh yang tidak terdampak saat melakukan serangkaian gerakan.
Penggunaan cermin dapat melibatkan korteks premotor untuk rehabilitasi motorik. Penelitian menunjukkan hasil yang menjanjikan dari terapi cermin dengan meningkatkan fungsi sensorik dan motorik setelah stroke.
Terapi cermin memiliki dampak positif dalam mengurangi kerusakan saraf, menurunkan mortalitas dan kecacatan jangka panjang, mencegah komplikasi sekunder pada imobilitas dan disfungsi saraf, serta mencegah stroke yang berulang.
Terapi cermin terdiri dari gerakan aktif dan pasif yang bisa memperbaiki pergerakan, menurunkan tingkat ketegangan, kontraksi kekuatan otot, belajar gerakan, perbaikan koordinasi dan meningkatkan daya tahan. Stimulus yang terjadi di muscle spindle dan golgi tendon akan menaikkan tension intramuscular yang maksimal.
Kondisi ini yang membuat impuls-impuls motorik dari otot-otot yang lemah diusahakan terus menerus untuk ditingkatkan atau diperkuat melalui impuls-impuls saraf lain yang bersinergi dan berkontraksi dalam waktu yang sama juga.
Prosedur umum terapi cermin adalah pasien duduk di depan cermin yang diorientasikan sejajar dengan garis tengah tubuhnya yang menghalangi pandangan anggota tubuh yang terkena dampak yang diposisikan di belakang cermin. Sambil melihat ke dalam cermin, pasien melihat pantulan anggota tubuh yang tidak terpengaruh yang diposisikan sebagai anggota tubuh yang terganggu.
Pengaturan ini cocok untuk menciptakan ilusi visual di mana gerakan atau sentuhan pada anggota tubuh yang utuh dapat dianggap mempengaruhi anggota tubuh yang terkena. Setelah itu, pasien melakukan gerakan pada anggota tubuh yang tidak terganggu sambil melihat pantulan cermin yang ditumpangkan pada anggota tubuh yang terganggu (tidak terlihat).
Terapi cermin ini dapat dilakukan pada ekstremitas atas (tangan kanan dan kiri) serta ekstremitas bawah (kaki kanan dan kiri) dengan durasi 30 menit sehari, dan dilakukan 5 hari seminggu selama 4 minggu. Terapi cermin dapat menjadi pilihan yang mudah dan efektif untuk meningkatkan kekuatan otot pada pasien pasca stroke. (***)