Refleksi Syawal: Dari Kesalehan Ritual Menjadi Kemapanan Moral

Mochamad Ikwan, S.S., M.Si, M.Pd.Ic – Dosen Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK)

SALAH satu indikator keberhasilan implementasi ritual Ramadhan adalah dengan membaca kecenderungan diri kita sesudahnya. Kalau kecenderungan diri masih tetap ke hal-hal positif yang bersifat ubudiyyah dan ihsan (kebaikan), maka itu menunjukkan puasa dan ritual Ramadlan memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada pembentukan kepribadian kita.

Tetapi jika kemudian yang dilakukan pasca Ramadlan adalah kebiasaan-kebiasaan perilaku negatif yang melanggar norma moralitas agama dan hukum, maka perbanyaklah istighfar, karena mungkin hati kita sudah berkarat atau mungkin sudah membatu.

Dalam masyarakat Indonesia, di awal Syawal setelah dilaksanakannya shalat ‘Idul Fitri ada tradisi halal bi halal. Walaupun terdengar bahasa Arab, tetapi terminologi ini hanya dapat dijumpai di Indonesia. Istilah tersebut secara harfiah artinya “yang halal dengan halal”.

Namun, makna yang mungkin dimaksudkan oleh penggagasnya adalah agar semua orang bisa berlapang hati saling menghalalkan kesalahan dan kekhilafan masing-masing, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, sehingga tidak ada lagi rasa benci, dendam, amarah, dan permusuhan.

Agar tujuan halal bi halal tersebut benar-benar bisa dicapai, maka fitrah halal bi halal harus dijaga, jangan sampai ia terjerumus menjadi hanya ritual protokoler belaka. Caranya adalah dengan menghindari bentuk-bentuk formal sosial, karena formalisme bisa melahirkan hambatan struktural dalam komunikasi antara satu orang dengan yang lainnya.

Jika hambatan struktural terjadi, maka kecil kemungkinan semua pihak yang berbeda-beda status sosialnya dapat saling berlapang dada untuk memaafkan. Oleh karena itu, halal bi halal harus diimplemetasikan dengan cara seelegan dan seegalitarian mungkin, sehingga tidak ada sekat-sekat sosial yang membatasi langkah hati untuk meminta maaf dan memaafkan.

Di sisi lain, aktifitas ritual Ramadlan idealnya juga akan melahirkan kesalehan sosial yang mapan dalam diri seseorang. Ada beberapa pertanyaan yang kejujuran jawabannya bisa menjadi signal keberhasilan tersebut, di antaranya; apakah semangat empati dan solidaritas kita kepada sesama sudah lebih baik dibandingkan dengan sebelum Ramadlan atau belum.

Apakah kita sudah bisa merasakan kesulitan orang lain sebagaimana kesulitan diri sendiri atau belum. Apakah kita dengan sesamanya sudah bisa seperti satu tubuh, yang apabila satu bagian sakit, maka semua bagian ikut merasakannya tanpa melihat kelompoknya, organisasinya, suku/ bangsanya, dan bahkan agamanya, atau belum. Apakah kita sudah tidak merasa iri hati sama sekali apabila melihat teman mendapatkan keberuntungan atau belum, dan lain sebagainya.

Kelapangan hati, empati, solidaritas, dan internalisasi akhlaq karimah dalam pendidikan Ramadlan ini pada akhirnya juga akan dapat membangun manusia-manusia rabbani yang bermartabat, bermoral tinggi, dan taat hukum. Mari kita simak sifat-sifat kaum Anshar (penduduk asli Madinah) dalam ilustrasi ayat berikut ini:c

”Dan orang-orang yang telah menempati kota (Madinah) tersebut dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka; dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada para pendatang tersebut; dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (sendiri) membutuhkannya. Dan barangsiapa terpelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Hasyr: 9)

Ayat ini menceritakan tentang apa yang pertama kali dilakukan Nabi Muhammad SAW. saat akan membangun sebuah masyarakat di Madinah, yang disebut masyarakat madani itu. Melalui ayat tersebut, Nabi tahu persis bahwa hukum hanya akan efektif kalau ada individu-individu yang cukup kuat (secara moral) menjalankannya tanpa pandang bulu. Intinya adalah pendidikan budi pekerti yang mengarah pada perbaikan individu.

Nabi tidak memiliki sistem sekolah (skolastik) seperti era sekarang ini. Beliau hanya mempunyai majelis-majelis taklim dan konsep-konsep ritual keagamaan semisal puasa, shalat, dzikir, dsb., dan semua itu terbukti berhasil secara spektakuler membangun individu yang berkesadaran hukum. Di atas puing-puing masyarakat jahiliyyah, beliau mampu membangun sebuah masyarakat hukum yang berperadaban tinggi. Maka prinsip mendasar yang harus dipegangi adalah bahwa sangat mungkin individu bisa diperbaiki lewat hukum, tetapi hukum hanya bisa ditegakkan oleh individu-individu yang baik. (***)