MENGATASI CULTURE SHOCK

Universitas Nahdlatul Ulama (UNUSA) berusaha terus berkembang menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia dan di level internasional; dan karena itu terus menerus membutuhkan kader yang mumpuni. Untuk itu banyak dosen muda maupun mahasiswa yang dikirim ke berbagai perguruan tinggi dalam maupun luar negeri untuk meneruskan studinya kejenjang yang lebih tinggi atau mengikuti pertukaran mahasiswa (Student Exchange). Tulisan ini ditujukan kepada para dosen muda dan mahasiswa UNUSA yang akan meneruskan studinya ke luar negeri.

Sering kita mendengar kata Culture Shock yang terjadi pada orang asing yang berada dinegara lain misalkan orang Jerman tinggal di Indonesia dan sebaliknya. Culture Shock yang dialami seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri biasanya berlangsung selama sekitar 3 bulan; dan kalau tidak diatasi maka akan berpengaruh kepada yang bersangkutan dalam perkuliahan dan berinteraksi dengan masyarakat disuatu negara; dan hal ini sangat menyedihkan karena bisa muncul rasa tidak nyaman tinggal di luar negeri, tidak krasan, merasa sendiri dsb.

Sebelumnya mari kita bahas apa itu Culture atau Budaya. Banyak para ahli yang mendefinisikan apa itu budaya; salah satunya adalah Philip R. Cateora dan John L. Graham yang mendefiniskan sebagai: “ the human made- part of human environment- the sum of total knowledge, beliefs, art, morals, laws, customs, and any other capabilities and habits acquired by human as members of society”. Atau singkatnya budaya itu adalah bagian dari lingkungan manusia – jumlah pengetahuan yang dimiliki, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Karena itu budaya berbeda dari daerah atau negara satu dengan yang lain.

Lalu apa yang disebut Culture Shock, atau gegar budaya itu?. Itu merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perasaan terkejut, gelisah, keliru  yang dirasakan apabila seseorang bersentuhan dengan kebudayaan yang berlainan sama sekali, seperti ketika berada di negara asing. Perasaan ini timbul akibat adanya perbedaan dan kesukaran dalam beradaptasi dengan budaya baru. Gegar budaya dapat mencakup aspek yang ada di kehidupan sehari-hari seperti makanan, cara berpakaian, harga barang, dll. Semakin berbeda budayanya, semakin parah efek yang ditimbulkan.

Cara mengatasi masalah Culture Shock itu adalah dengan melihat budaya itu dengan kacamata netral, artinya tidak dengan perspektif kita sendiri. Orang Amerika Serikat berkacak pinggang menunjukkan sikap relax; tapi kalau kita lihat dengan perspektif budaya Jawa, maka itu bisa berarti sombong. Orang Amerika memanggil orang yang lebih tua dengan “Njambal” – misalkan “Hi, John” tidak pakai panggilan Pak; bagi kita orang Indonesia panggilan njambal itu tidak sopan. Orang Arab memegang kepala lawan bicaranya itu dianggap biasa, tapi kalau memegang pantat itu tidak sopan. Orang barat kalau berbicara dengan kita meminta kita menatap matanya (look up my eyes while I am speaking); sementara kita tidak melakukan hal seperti itu misalkan bicara dengan orang tua. Budaya negara lain ada yang men- tabukan bertanya soal umur wanita, gajinya berapa, kenapa tidak menikah, agamanya apa dsb; karena hal-hal itu dianggap soal pribadi (private) bukan persoalannya orang lain. Saya pernah menasihati seorang diplomat asing yang “metingkrang” atau menyilangkan satu kakinya ketika duduk berhadapan dengan seorang Kiai tua di Jember– untuk merubah cara duduknya sambil saya terangkan bagaimana posisi seorang Kiai dimata masyarakat.

Contoh-contoh diatas tidak berarti bahwa budaya orang lain lebih baik dari kita dan begitu sebaliknya. Kalau kita melihat budaya orang lain dengan cara pandang budaya kita; maka kita pernah mendengar pernyataan “bahwa budaya orang Arab tidak sebaik budaya kita”.

Bagi para dosen muda atau mahasiswa yang berencana melanjutkan studi keluar negeri sebaiknya mempelajari lebih dulu budaya di negara dimana mereka berada agar tidak mengalami gegar budaya atau Culture Shock. Demikian sebaliknya perlu UNUSA lewat GENUS memberikan penjelasan tentang budaya Indonesia bagi mahasiswa asing yang ingin melanjutkan studinya di UNUSA agar mereka lebih nyaman kuliah di UNUSA dan tinggal di Indonesia.