SURABAYA – Jangan sekali-kali mengirim naskah tulisan untuk pembuatan buku kepada penerbit melalui cara elektronik atau softcopy. Karena cara itu bisa dimanfaatkan pihak lain untuk hal-hal yang negatif. Sehingga naskah yang untuk pertama kali dikirim harus dalam bentuk hardcopy atau hard print.
Hal itu ditegaskan Direktur Utama Penerbit Andi Yogyakarta, Joko Irawan Mumpuni saat menjadi pembicara dalam acara Rahasia Sukses agar Naskahmu Diterima Penerbit di Café Fastron Tower Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Kampus B, Kamis (23/2).
“Sekarang ini banyak mafia naskah. Karena pada dosen sekarang ingin naik pangkat secara cepat. Mereka ingin jadi guru besar juga secara cepat. Makanya, begitu ada naskah soft copy yang dianggap tidak bertuan, langsung diambil, dibeli harga mahal pun tak apa,” ujarnya.
Dikatakan Joko, naskah untuk pertama kali memang harus dikirim hard print. Jika dikirim melalui email tidak ada yang bisa menjamin naskah itu bisa kembali kepada si penulis ketika penerbit menolak naskahnya. “Bisa jadi kami lupa menghapus filenya di email. Memang ini praktis, namun tidak aman,” jelasnya.
Namun, Joko mengatakan, mengirimkan naskah ke penerbit itupun tidak boleh seratus persen dikirimkan. Jika naskah berisi 11 bab maka yang perlu dikirimkan cukup enam bab, sisanya bisa disimpan si penulis. Yang terpenting dikirim adalah biodata penulis dan daftar isi.
“Nanti kalau sudah kita review atau kita nilai dan itu memenuhi syarat, maka kita akan beritahu. Sisa bab yang masih belum dikirim bisa dikirim bersama naskah yang lain. Pengiriman itu bersama dengan surat pernyataan dari penerbit yang sudah bermaterai. Jadi tidak akan ada penyalahgunaan,” tuturnya.
Bagi penulis, dalam mengirimkan naskah, alangkah baiknya memilih penerbit yang berskala nasional. Selain itu, penerbit itu jujur dalam membayar royalti. Biasanya royalty dibayarkan setiap enam bulan sekali dengan besaran 10 persen dari harga buku. “Kalau itu sistem royalty. Ada yang sistem beli lepas, naskahnya kita beli berapa juta namun ya nama penulisnya tidak ditulis di situ. Sistem ini boleh dan tidak melanggar hukum,” tandasnya.
Lalu, ketika naskah itu tidak diterima penerbit, apa yang akan dilakukan? Naskah tersebut akan dikembalikan kepada penulis. Kalau naskah itu diterima dan dicetak namun tidak laku di pasaran, maka penerbit akan menariknya dan memusnUNUSAahkannya. Pemusnahan buku itu dengan cara memotong-motongnya memanjang.
“Terkadang kami memotongnya tidak sempurna. Nama penulis buku terkadang masih utuh tertulis. Kasihan juga yang nulis buku apalagi kalau dia seorang guru besar. Namun begitulah prosedurnya. Potongan kertas itu nanti kami jual ke para distributor telor ayam sebagai penyangga telor yang akan dikirim dari Yogyakarta ke Jakarta,” tuturnya diiringi tawa peserta seminar.
Sementara itu, Rektor Unusa, Prof Achmad Jazidie mengatakan seminar ini sebagai bagian dari Dies Natalis ke-4 Unusa. Unusa mencoba memberikan wadah bagi para dosen untuk melakukan penelitian dan menuliskannya dalam bentuk buku dan jurnal.
Di tahun ini, Unusa menarget 15 program studi dari enam fakultas yang ada, bisa menghasilkan dua naskah buku atau jurnal per prodi. “Karena, penelitian yang ditulis dalam bentuk buku atau jurnal ini bisa mengangkat akreditasi prodi maupun akreditasi lembaga. Selain nantinya bisa meningkatkan karier dan financial dari dosen itu sendiri,” ungkapnya. (Humas – Unusa)