Surabaya – Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta turunannya berdampak pada perilaku seseorang dalam bersosial dan berkomunikasi, yang mana resiko terjadinya cyberbullying pada anak dan remaja semakin tinggi.
Tim Dokter Muda Kedokteran Jiwa Batch 3 membuat stase beberapa tindakan cyberbullying seperti flamming (amarah) dan harassment (pelecehan). Dengan kondisi ini membuat teman akan mudah marah, sehingga tidak dapat menahan emosi serta kurang bisa mengontrol diri, dan melakukan hal-hal negatif.
Salah satu tim Dokter Muda Kedokteran Jiwa Batch 3, Devy Yahya menjelaskan sifat negatif yang kerap dilakukan remaja untuk melakukan cyberbulliying seperti suka mengejek, suka mengadu domba, mengirim pesan kasar, menyudutkan orang di dunia maya, atau bahkan menulis komentar buruk di sosial media memakai akun anonim. “Prilaku seperti itu kadang tidak disadari melakukan cyberbullying,” ungkap Devy, Rabu (2/6).
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2014, jumlah kasus bullying di Indonesia menduduki peringkat teratas dari total pengaduan yang dilaporkan oleh masyarakat. Dan karena sekarang kita berada di era yang semuanya serba teknologi, berbagai kasus bullying di dunia maya bukanlah fenomena yang tabu, apalagi kasus cyberbully tidak terpaut hanya anak dan remaja, bahkan orang dewasa juga bisa.
Devy menjelaskan perbedaan bullying dan cyberbullying yang terlihat jelas adalah dilakukan di dunia nyata dan dunia maya. Dimana bullying kebanyakan lebih mementingkan kekuatan fisik, sedangkan cyberbullying tidak, para pelaku dapat bersembunyi di balik layar hp dan akun anonim.
“Berdasarkan hasil survei yang dilakukan para dokter muda pada mahasiswa di Indonesia, dengan menggunakan kuesioner RCBI (Revised Cyber Bullying Inventory) untuk mengukur keterlibatan seseorang dalam cyberbullying, didapatkan hasil bahwasanya kebanyakan dari responden pernah menjadi pelaku sekaligus korban dari cyberbullying,” ungkap Devy.
Hasil survey yang didapati Data terbanyak didapatkan menggosipkan seseorang melalui sosial media ialah perilaku yang paling sering dilakukan. “Sedangkan untuk intensitas waktu bermain internet rata-rata perorang menghabiskan waktu 4 sampai 8 jam perhari,” ungkap Devy.
Dampak negatif dari pelaku maupun korban cyberbullying mulai dari yang ringan hingga yang dapat membahayakan nyawa. Adapun dampak pada pelaku yakni adanya perasaan bersalah yang berkepanjangan, sedangkan dampak pada korban yakni perasaan sakit hati dan kecewa, keduanya mengalami dampak negatif secara psikologis (Rifauddin, 2016).
Dampak negatif yang dirasakan bermacam-macam, jika dialami oleh pada korban bisa saja mengalami depresi, gangguan cemas, prestasi di sekolah menurun, menghindar dari lingkungan sosial, dan yang paling berbahaya adalah adanya upaya korban untuk bunuh diri (Rifauddin, 2016).
“Kita tidak pernah tahu mental seseorang seperti apa, maka dari itu pentingnya untuk menjaga etika bermain internet terutama dalam bersosial media,” ungkap Devy.
Menurut pandangan para dokter muda komunikasi antara anak dan orang tua dapat menentukan bagaimana perilaku anak di kemudian hari. “Selain itu juga dapat menentukan kualitas tingkat perkembangan emosi seorang anak,” ungkap Devy. (sar humas)