Kejar Double Degree, 7 Mahasiswa UNUSA Berangkat ke Taiwan

Surabaya – Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) dengan komitmennya ingin selalu memberikan kesempatan yang luas bagi mahasiswanya. Baik itu lapangan pekerjaan atau studinya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kesempatan studi di luar negeri melalui kerjasama Unusa dengan beberapa kampus mitra mancanegara.

Program Intens 3+1 merupakan salah satu bentuk kerjasama Unusa dengan kampus mancanegara, yakni St. John’s University Taiwan dalam memberikan kesempatan mahasiswa untuk studi di luar negeri. Kesempatan ini hanya bisa dirasakan oleh mahasiswa program studi S1 Sistem Informasi, lantaran fokus pendidikan yang merujuk pada teknologi.

Kesempatan pertama kali ini ada 7 mahasiswa S1 Prodi Sistem Informasi Unusa yang berangkat ke Taiwan untuk menjalani program tersebut. Mereka merupakan mahasiswa pilihan yang sudah lolos seleksi, bahkan juga telah melewati tahap wawancara perusahaan. Di mana perusahaan itu yang kelak akan menerima mereka sebagai pegawai internship selama satu tahun setelah lulus.

Muhammad Nizar Affandi, satu dari 7 mahasiswa Unusa yang berangkat ke Taiwan September lalu menceritakan keputusannya mengikuti program tersebut. Menurutnya ini menjadi kesempatan baginya untuk menempuh jenjang karir yang lebih baik. “Sembari berharap membuka jalan atau kesempatan serupa terutama untuk keluarga saya sendiri dan Unusa,” ungkapnya.

Selama satu tahun Nizar dan teman-temannya akan mempelajari mata kuliah yang linear dengan jobdesk dan kontrak internship dengan perusahaan mitra. Berada di lingkungan yang baru membuatnya harus menyesuaikan diri. Banyak tantangan yang harus dihadapinya, seperti perbedaan mata kuliah kunci, mekanisme tugas akhir, hingga budaya di Taiwan.

Pada program ini, dirinya tidak diwajibkan membuat tugas akhir untuk St. John University karena tak ada mekanisme tersebut yang diterapkan disana. “Ada dua target yang diberikan, pertama menguasai bahasa Mandarin, dan yang kedua kurikulum kontrak yang mengarah pada bidang sistem informasi dan civil atau sipil,” jelas Nizar.

Dirinya juga cukup kesulitan memahami materi yang dijelaskan meskipun menggunakan bahasa Inggris. Lantaran logat pengajar yang masih kental dengan Mandarin, membuat pengucapannya kurang terdengar jelas. “Disini juga tidak seramah di Indonesia, terutama minimarket. Lebih banyak pejalan kaki juga daripada kendaraan pribadi,” ungkap Nizar.

Selain itu, kesulitan mencari air mineral juga menjadi kendala besar bagi Nizar dan teman-temannya. Bahkan harga soda atau teh satu botol lebih murah dari air mineral. Makanan yang masih dominan tidak halal, serta minimnya masakan sayur atau berkuah disana. 

“Yang paling culture shock itu tidak ada air mengalir atau tissue yang disediakan di toiler untuk buang air besar,” bebernya.

Remaja semester 7 itu mengatakan keinginannya kedepan jika dirinya ingin memperdalam ilmu pengetahuannya, dengan  lanjut studi magister. “Secara non akademik, saya ingin apa yang saya jalani ini akan menjadi fondasi kuat bagi saya untuk melakukan apapun kedepannya,” ujarnya.

Dirinya juga memberi pesan pada teman-teman yang ingin mengikuti program intens 3+1 ini. Dengan istiqomah dan serius menjalani proses yang ada saat ini. Bukan terlalu fokus untuk bisa lolos program tersebut, sehingga lalai dengan yang tengah dihadapi saat ini.

“Karena yang dijadikan pertimbangan adalah performa dan pengalaman, baik akademik maupun non akademik. Jadi fokus pada pengembangan diri yang sekarang,” bebernya. (Humas Unusa)