Surabaya – Prevalensi stroke di Indonesia pada tahun 2018 berjumlah sebesar 10,9 persen. Jumlah tersebut setara dengan lebih dari 2,1 juta orang dewasa. Berkenaan dengan hal tersebut, Jawa Timur menjadi salah satu provinsi dengan angka kasus tertinggi. Menurut Kemenkes RI (2018), sebanyak 25-74 persen penderita stroke di dunia bergantung pada dukungan keluarga, guna menjalani aktivitas sehari-hari. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Yurike Septianingrum, S.Kep., Ns., M.Kep, pada orasi ilmiah dalam rangka memperingati hari lahir Universitas Nahdlatul Ulama’ Surabaya (Unusa). Pada Rabu lalu (13/8) di Auditorium Unusa Tower lantai 9.
Menjawab permasalahan di atas, Dosen Keperawatan tersebut mengembangkan “Model Dukungan Manajemen Diri Berbasis Perawatan Transisi”. Model ini bertujuan meningkatkan perilaku manajemen diri serta kemandirian aktivitas sehari-hari pasien stroke. Sistem kerjanya terlaksana melalui penguatan efikasi diri sebagai mediator utama. “Saya meyakini bahwa ketika pasien memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuannya, ia akan lebih termotivasi untuk mengelola kesehatan secara aktif dan bertanggung jawab,” imbuhnya.
Tahapan Penelitian
Pada penelitian ini, model yang dikembangkan berada dalam tiga tahap. Tahap pertama merupakan penelitian eksplanatori dengan pendekatan kuantitatif. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor individu, keluarga, dan penyedia layanan kesehatan berpengaruh signifikan atas pembentukan dukungan manajemen diri dan efikasi diri. Tahap kedua yakni pengembangan intervensi melalui modul dan booklet edukatif. Pada tahap terakhir, yakni implementasi modul ini melalui penelitian eksperimental.
“Hasilnya menunjukkan bahwa modul ini berdampak signifikan terhadap perilaku manajemen diri pasien, terutama pada aspek self regulation, self-integration, interaksi dengan tenaga kesehatan, self-monitoring, dan kepatuhan pengobatan. Bahkan terjadi peningkatan yang signifikan pada kemandirian aktivitas harian. Seperti makan, mandi, berpakaian, berpindah tempat, hingga toileting,” ringkas Dr. Yurike.
Pembeda dengan Penelitian Lain
Penelitian model ini memiliki pendekatan transisi perawatan yang menempatkan keluarga sebagai pilar utama. Peran keluarga di sini sebagai pendukung berjalannya proses rehabilitasi. Berbeda dari pendekatan transisi perawatan pada umumnya yang berfokus pada kesiapan pasien semata. Keluarga bukan hanya menjadi penyedia bantuan fisik. Sebagai penguat emosional dan motivator utama bagi pasien. “Model ini juga dapat memperlihatkan faktor-faktor individual. Seperti usia, persepsi terhadap penyakit, usia, pengetahuan, mekanisme koping hingga kesiapan pasien,” imbuh Dosen Unusa itu.
Pada akhir, Dr. Yurike menyatakan bahwa temuan ini sebagai bentuk nyata bahwa dukungan manajemen diri tidak dapat ditingkatkan hanya dengan fokus terhadap pasien semata. Peran penyedia layanan terutama keluarga juga menjadi penentu keberhasilan rehabilitasi stroke. “Model ini adalah bentuk ikhtiar kecil saya dalam mewujudkan sistem kesehatan yang lebih manusiawi, berkelanjutan, dan berbasis nilai-nilai keislaman serta kemanusiaan universal,” pungkasnya. (Humas Unusa/Zhw)