Surabaya – Jika bicara mengenai pendidikan di Indonesia tak akan ada habisnya. Kurikulum yang terus berganti juga belum memberikan dampak signifikan pada kemajuan pendidikan di Indonesia. Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyatakan berencana untuk memasukkan Pendidikan Militer pada kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan maksud menanamkan rasa bela negara pada para siswa.
Menanggapi hal itu, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Mustofa, S.Pd., M.A., Ph.D., menuturkan bahwa kurikulum pendidikan militer bukanlah hal baru. Banyak negara maju menerapkan pendidikan militer di sekolah, seperti Korea Selatan hingga Jepang. “Bukan masalah kalau memang untuk meningkatkan rasa nasionalisme di tengah globalisasi,” bebernya (14/3).
Namun ada hal yang perlu diperjelas rencana pendidikan militer ini. Lantaran jika untuk meningkatkan nasionalisme dan bela negara sudah ada Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang sudah ada sejak lama dari Sekolah Dasar, SMP dan SMA. Meskipun memang secara keseluruhan masih fokus pada teori bukan implementasi kontekstual. “Tapi rencana itu kan juga masih wacana, belum pasti,” ungkap Mustofa.
Dirinya menyarankan, jika memang rencana ini akan dieksekusi perlu dipersiapkan dengan matang kurikulumnya. Bukan hanya baik secara administrasi, tapi implementasi kosong. Pada dasarnya tujuan pendidikan kewarganegaraan dan Pendidikan Militer ini memiliki goal yang sama. Sama-sama menanamkan dan memperkuat rasa nasionalisme serta bela negara pada generasi muda.
Mustofa mengatakan bahwa Indonesia terlalu banyak istilah dalam pendidikan, meskipun secara substansial sama. Hal itu sering kali overlapping. “Oleh karenanya, jika ingin memasukkan pendidikan militer itu harus lebih fokus pada praktik dan olah fisik,” sarannya.
Dosen FKIP itu menuturkan, hal ini baik jika konsep kurikulum yang dibuat jelas dan terdapat pembeda dengan mata pelajaran yang sudah ada, serta tidak tumpang tindih sehingga tidak sia-sia. Pada dasarnya jika ingin mendambakan Indonesia menjadi negara maju, solusinya adalah pendidikan yang berkualitas. Mustofa mengatakan tiga hal krusial untuk memperbaiki pendidikan. Pertama, meningkatkan kualitas guru. Kualitas guru perlu betul-betul diperhatikan. Artinya kampus harus mengambil peran penting. Di negara-negara maju, untuk menjadi guru seleksinya sangat ketat. Kemudian perhatikan kesejahteraannya, “di Indonesia gaji guru hanya berapa, jauh berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia,” ungkapnya. Kedua, perubahan mindset atau pola pikir, bukan soal teknis belaka. “Pelatihan guru itu juga perlu fokus pada mengubah mindset,” ucapnya.
Terakhir, supervisi implementasi. Jangan ada distorsi antara konsep yang baik dengan implementasi harus memperhatikan praktik di lapangan apakah terlaksana dengan baik, sesuai dengan yang direncanakan. (Humas Unusa)
