PENDIDIKAN Profesi Guru (PPG) di Unusa dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Ini pengakuan dua peserta masing-masing Sr. Elisabeth Hardiantinawati, MC, peserta PPG Dalam Jabatan Program Studi Bahasa Inggris, dan Teori Manao, peserta PPG Dalam Jabatan Prodi PGSD, yang mengikuti Yudisium pada Jumat (13/9) siang, di Auditorium Kampus B Unusa.
Dua peserta ini berasal dari daerah berbeda. Sr. Elisabeth Hardiantinawati, MC, berasal dari Surabaya, sementara Teori Manao berasal dari Nias Selatan, Sumetera Utara. Dua keyakinan mereka juga berbeda, Sr. Elisabeth Hardiantinawati, MC beragama Kristen Katolik sedang Teori Manao, Kristen Protestan.
Sr. Elisabeth Hardiantinawati, MC, yang menjabat sebagai Kepala SMP Katolik Santa Clara Surabaya ini mengakui, jika setelah mengikuti PPG di Unusa, hasilnya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas para peserta dan menambah kepercayaan diri peserta berada di depan kelas. “Sebagai kepala sekolah saya memang jarang mengajar di depan kelas, lebih banyak berurusan dengan administratif dan tata kelola sekolah, tapi saya sungguh amat yakin para peserta PPG akan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di kelasnya,” katanya.
Dikatakannya, PPG Dalam Jabatan merupakan bentuk mengembangan diri untuk meningkatkan kualitas diri pendidik dalam pembelajaran yang disesuaikan dengan Kurikulum Merdeka. Mendalami kurikulum dari proses awal pembuatan modul ajar sampai dengan implementasi di kelas, adalah salah satu materi yang diberikan. “Dalam proses pembuatan modul memang dibutuhkan kreativitas pendidikan untuk menciptakan pembelajaran yang menarik bagi peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik,” katanya.
Sedikitnya ada tiga alasan kenapa PPG Dalam Jabatan jtu penting itu diikuti, katanya menambahkan. Pertama, karena setelah mengikuti PPG, bekal pengetahuan untuk mengajar para peserta bertambah. Kedua, ada banyak pengetahuan baru, misalnya tenang kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka diperlukan pembelajaran terdiferensiasi. “Karena itu menurut saya, kesempatan PPG adalah sebuah tantangan yang harus dijalankan untuk pengembangan diri pendidik di masa depan dalam menyiapkan generasi Pancasila,” katanya.
Ketiga, peserta ingin segera mempraktikkan bagaimana membuat proses pembelajaran kreatif kepada peserta didik, setelah memperoleh kiat-kiat dari dosen PPG. “Tiga point itu minimal yang telah diperoleh peserta PPG, sehingga menambah tingkat kepercayaan diri peserta. Banyak hal baru yang saya peroleh saat mengikuti PPG,” kata Suster kelahiran, Yogyakarta, 9 November 1974.
Bercerita pengalaman awal ikut PPG di Unusa, Sr. Elisabeth mengatakan, pada awalnya ia sangsi apakah dirinya bisa diterima dan berhasil dalam mengikuti PPG di Unusa, karena perbedaan keimanan yang dimiliki, belum lagi penampilan dirinya juga sangat berbeda dari kebanyakan peserta lain. “Saya memang mengenakan tutup kepala, tapi sangat berbeda dengan jilbab yang dikenakan peserta lain. Saya juga diawal-awal sempat galau untuk ikut,” katanya.
Tapi seiring berjalannya waktu, katanya melanjutkan cerita pengalamannya, kegalauan itu berangsur pulih. Ternyata baik dosen maupun peserta lain dapat menerima kehadiran dirinya. “Semua berjalan biasa dan semakin menarik ketika beberapa dosen dengan ramah dan candaan memberikan kesempatan yang sama untuk ikut aktif dalam proses pembelajaran,” kata Suster yang tinggal Kompleks Sekolah Santra Clara, Ngagel Madya, Surabaya.
Bagi Sr. Elisabeth, meski usianya tidak lagi muda dibanding teman-teman satu kelas dan satu angkatan, ia merasakan materi yang diberikan oleh para dosen bisa diterima dan dapat menambah wawasan peserta. “Ini terlihat sekali ketika pada saat dilaksanaan pembelajaran secara online dan tugas mandiri, serta presentasi peserta, semua mengerjakan dan mengumpulkan dengan baik. Para peserta juga aktif dalam berinteraksi dan berbagi pengalaman, demikian juga para dosen aktif menyapa,” kata alumni FKIP Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya ini.
Hal sama juga diceritakan oleh Teori Manao, Pria asal Sumatera Utara, Kab. Nias Selatan yang mengajar di SDN Tebolo, Kec. Hibala, Nias Selatan. Dikatakannya, PPG yang dia ikuti di Unusa sungguh telah membuka wawasan dirinya dalam menjalankan proses pembelajaran di kelas. “Kini saya jauh lebih siap dan percaya diri di hadapan murid-murid di depan kelas. Sebelum mengikuti PPG, kelas saya pasif, karena belum mendapatkan bagaimana cara membuat kelas bisa hidup dan menyenangkan. Kini semuanya telah berubah, karena saya sudah punya bekal untuk itu. Sebagai kepala sekolah saya akan menularkan apa yang telah saya peroleh dari PPG Unusa ke guru-guru di sekolah saya,” katanya.
Pria yang sudah 15 tahun menjadi guru ini mengakui bahwa materi yang diberikan pada pelaksanaan PPG di Unusa telah banyak mengubah dan menginspirasi cara dia menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya. Selain itu, pengetahuan dan kemampuan saya di bidang IT juga bertambah setelah mengikuti PPG di Unusa. “Sebelum ini kelas monoton, hanya pembelajaran tradisional, membaca dan mencatat, terasa membosankan bagi saya apalagi mungkin yang dirasakan murid-murid. Kini kelas menjadi lebih hidup dan menyenangkan,” kata Teori Manoa, kelahiran Nias Selatan, 10 Juli 1977.
Ayah dua orang putri ini menceritakan kendala yang ia alami selama mengikuti PPG, antara lain ganguan sinyal yang sering dialami saat melakukan pertemuan melalui online. “Saya mengikuti perkuliahan secara online bukan dari sekolah, karena fasilitas di sekolah tidak ada. Jadi selama pelaksanaan PPG saya kost di pulau lain yang memiliki jaringan internet,” katanya.
Alumni PGSD dari Universitas Terbuka tahun 2020 ini menceritakan, kondisi di sekolahnya sangat minim. Tidak ada listrik, guru hanya 9 orang terdiri dari seorang PNS, 5 orang GTT dan 3 orang P3K dengan 122 siswa dari kelas satu hingga enam. “Jangankan fasilitas internet, aliran listrik saja di sekolah kami belum ada,” katanya.
Baik Sr. Elisabeth maupun Teori Manoa, merasa beruntung memperoleh kesempatan mengikuiti PPG di Unusa. “Saya tidak menemukan berbedaan perlakuan dari dosen maupun sesame peserta meski saya berkeyakinan lain,” kata Teori Manoa, yang memeluk Kristen Protestan.
Sr. Elisabeth berpesan baik bagi dirinya maupun peserta PPG Unusa lainnya, bahwa kesempatahn yang telah diperolehnya dari Pemerintah melalui PPG Dalam Jabatan hendaknya jangan disia-siakan. Jadikan ada yang telah diperoleh sebagai bekal tambahan untuk terus memberikan motivasi kepada peserta didik sebagai bagian dari upaya mencintai profesi. “Sebagai guru kita harus terus belajar dan belajar untuk bisa membangun karakter peserta didik dengan optimal untuk membangun masa depan mereka. Kebetulan saya memang mencintai anak-anak. Berada di tengah-tengah mereka sungguh sangat mengasikan,” katanya. (Humas Unusa)