Dosen Unusa Edukasi Santriwati tentang Penyakit TB Paru

Pasuruan – Tim Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) baru-baru ini melaksanakan kegiatan penyuluhan kesehatan di Pondok Pesantren Putri KHA Wahid Hasyim.

Penyuluhan ini untuk  mengenalkan tanda dan gejala penyakit Tuberkulosis (TB) Paru, serta mengedukasi tentang pentingnya pemeriksaan dini dan cara pencegahan penyakit tersebut.

Penggagas pengmas, Dr. dr. Bastiana, Sp.PK mengatakan penyakit TB Paru yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, masih menjadi salah satu penyakit menular yang signifikan di Indonesia.

Tingginya angka kejadian TB Paru menunjukkan bahwa penyakit ini masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Banyaknya penderita TB Paru yang tidak terdeteksi secara dini memperparah penyebaran penyakit ini, terutama di lingkungan padat penduduk.

“Dalam penyuluhan ini, lebih menekankan pentingnya mengenali gejala TB Paru sejak dini,” ujarnya.

Dr Bastiana pun memperkenalkan gejala penyakit ini yang harus diwaspadai meliputi batuk yang tidak kunjung sembuh lebih dari dua minggu, batuk berdarah, demam yang berkepanjangan, penurunan berat badan yang drastis tanpa sebab yang jelas, keringat malam yang berlebihan, serta rasa lemas yang berkepanjangan.

Gejala-gejala ini sering kali diabaikan atau disalah artikan sebagai penyakit lain, sehingga banyak penderita yang terlambat mendapatkan pengobatan.

Deteksi dini sangat penting untuk mencegah penularan lebih lanjut dan memastikan pengobatan yang efektif. Semakin cepat penyakit ini terdeteksi, semakin besar kemungkinan untuk sembuh total dan mengurangi risiko penularan kepada orang lain.

Pada penyuluhan ini dikenalkan juga beberapa metode pemeriksaan yang dapat dilakukan. Metode pemeriksaan TB Paru yang umum digunakan antara lain tes Mantoux atau uji tuberkulin, pemeriksaan dahak (BTA) untuk mendeteksi keberadaan bakteri TB, rontgen dada untuk melihat kondisi paru-paru, tes darah seperti Interferon Gamma Release Assays (IGRA), dan Tes Cepat Molekuler (TCM) yang mampu memberikan hasil lebih cepat dan akurat.

“Pemeriksaan ini penting untuk memastikan diagnosis yang tepat dan memulai pengobatan yang sesuai secepat mungkin,” tuturnya.

Tidak hanya berhenti pada pengenalan gejala dan pemeriksaan dini, penyuluhan ini juga membahas cara pencegahan TB Paru. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan TB antara lain adalah menghindari kontak erat dengan penderita TB aktif, menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan, menggunakan masker di tempat umum berisiko tinggi, dan melakukan vaksinasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin) untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap TB.

Salah satu tujuan utama dari penyuluhan ini adalah mengurangi stigma negatif yang masih melekat di masyarakat terhadap penyakit TB Paru. TB Paru memang menular, tapi bukan berarti penderita harus dijauhi atau dikucilkan. Dengan penanganan yang tepat dan dukungan dari lingkungan, penderita bisa sembuh total.

“Stigma yang berlebihan terhadap penderita TB Paru seringkali menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan perawatan yang dibutuhkan. Melalui edukasi yang benar, diharapkan masyarakat bisa lebih memahami dan mendukung penderita dalam proses penyembuhan mereka,” jelasnya.

Kegiatan pengabdian masyarakat seperti ini penting untuk edukasi kesehatan dalam meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma di masyarakat. Penyuluhan di Pondok Pesantren Putri KHA Wahid Hasyim ini diharapkan menjadi langkah awal untuk menyebarkan informasi yang benar tentang TB Paru, sehingga lebih banyak orang yang sadar akan pentingnya deteksi dini dan pencegahan. (***)