Surabaya – Sejumlah pakar sejarah berkumpul di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) pada hari Sabtu untuk membahas rancangan penulisan buku berjudul “Resoloesi Djihad NU, Perang Sabil di Surabaya 1945” karya Riadi Ngasiran. Acara yang berlangsung pada Sabtu (27/7) siang, menjadi ajang diskusi yang mempertemukan berbagai perspektif dan pemikiran dari para ahli sejarah, yang diharapkan dapat memperkaya dan menyempurnakan isi buku tersebut.
Buku ini berfokus pada peran Nahdlatul Ulama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam peristiwa heroik di Surabaya pada tahun 1945. Pakar-pakar yang hadir adalah Adrian Perkasa PhD, KH Dr Ahmad Baso, Dr Zainul Milal Bizawie, Prof Peter Carey dan Ady Erlianto Setyawan ST. Dalam FGD tersebut juga dihadiri sejumlah akademisi, birokrat Pemkot Surabaya dan perwakilan NU Jawa Timur, H Sholeh Hayat.
Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Prof Achmad Jazidie, menyatakan bahwa kampus berperan penting sebagai wadah untuk menyampaikan dan mendiskusikan berbagai gagasan dan pemikiran yang berbeda. Menurutnya, dengan adanya forum-forum diskusi yang bebas dan terbuka, dunia akademik dapat terus berkembang dan menjalankan fungsi utamanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Para pakar sejarah yang saling menyampaikan pandangan berbeda makin memperkaya perspektif atas pembahasan suatu masalah. Dengan terus-menerus menghargai perbedaan, kita akan mampu keluar dari tempurung yang membelenggu. Juga, partisipasi aktif dari akademisi dan mahasiswa dalam kegiatan semacam ini sangat penting untuk menumbuhkan budaya intelektual yang kritis dan konstruktif di lingkungan kampus,” tuturnya.
Prof Peter Carey menegaskan tak ada tindakan tanpa adanya komando yang jelas. Orang-orang Islam berhasil digerakkan dengan kekuatan radio oleh Bung Tomo, sehingga arah pertempuran berhasil dikomando dengan teriakan pidato radio yang bisa menggerakkan massa.
“Kebetulan kami sedang menyiapkan seri kedua dari buku Gelora Api Revolusi, yang pernah menjadi serial radio BBC bersama Colin Wild. Kami mempunyai dokumentasi wawancara dengan sejumlah tokoh yang terlibat langsung semasa Revolusi Indonesia,” tambah Peter Carey, yang memfokuskan kajiannya Perang Diponegoro dan berhasil menghimpun kajian dalam tiga jilid buku berjudul “Kuasa Ramalan”.
Riadi Ngasiran, melalui rancangan bukunya itu menyampaikan, lebih dari sepuluh kyai dan tokoh Nahdlatul Ulama telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Merupakan suatu pengakuan resmi atas perjuangan dan pengabdian para ulama pesantren itu kepada bangsa dan negara. Khususnya pada saat perjuangan kemerdekaan dan saat-saat genting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Sayang, Membaca buku ‘Pasak Sejarah Indonesia Kekinian, Surabaya 10 November 1945’, diterbitkan Bagian Humas Pemkot Surabaya pada 2018, tak satupun menyebut (tak memuat Resolusi Djihad NU) lokasi bersejarah dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu,” tuturnya.
Disebutkan, nama-nama Pahlawan Nasional dari kalangan NU. Seperti KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahid Hasyim, keduanya dari Pesantren Tebuireng Jombang. KH Zainal Musthafa, KH Idham Chalid, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Syam’un, KH Masjkur, dan KH Abdul Chalim Leuwimunding. Belum lagi nama Andi Mappanyukki (Sulsel) dan Usmar Ismail (tokoh perfilman dan Bapak Perfilman Indonesia, Pendiri Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia).
Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Unusa ini menjadi langkah penting dalam upaya menggali dan mendokumentasikan sejarah perjuangan bangsa. Dengan melibatkan para pakar sejarah dan tim penulis yang kompeten, diharapkan buku “Resoloesi Djihad NU, Perang Sabil di Surabaya 1945” dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam literatur sejarah Indonesia. (***)