Mustofa – Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
PROFESOR Yuval Noah Harari dalam bukunya “Homo Deus: A Brief History of Tomorrow” mengatakandulu sumber utama kekayaan adalah tambang emas, minyak dan gandum. Saat ini sumber utama kekayaan adalah ilmu pengetahuan. Faktanya bisa dilihat dewasa ini ilmu pengetahuan mengendalikan dunia.
Diskursus tentang sistem pendidikan yang baik di Indonesia kembali mengemuka. Seperti biasa setiap ada pergantian Menteri Pendidikan ada evaluasi terhadap penerapan sistem pendidikan, Indonesia tercatat sedikitnya melakukan reformasi kurikulum sebanyak 11 kali.
Hal itu baik apabila berangkat dari kegelisahan untuk memperbaiki kualitas pendidikan karena sejatinya reformasi dilakukan untuk perbaikan dan hal itu juga dilakukan oleh semua negara di dunia.
Hemat saya Mendikbud saat ini telah melakukan dobrakan terhadap kebiasaan-kebiasaan formalitas administratif yang menihilkan substansi dan ide besarnya. Kita perlu mendukung meskipun harus tetap kritis.
Pendidikan di Cina
Rilis PISA (Programme for International Student Assessment) yang terkahir, mengejutkan kita karena China ada di posisi teratas, diikuti Singapore, Hong Kong, dan Macao. Apa yang bisa dipelajari dari China negara yang menjadi ‘kiblat’ baru dunia. Pemerintah China memberikan nilai yang tinggi untuk pendidikan.
China telah memulai peremajaan pendidikan sejak 2003-2007 yang dituangkan dalam kebijakan Menteri Pendidikan (MOE). Kemudian mengeluarkan Garis Besar Reformasi dan Pembangunan Pendidikan Jangka Menengah dan Jangka Panjang oleh dewan negara (2010-2020).
Ada dua hal penting yang bisa dipelajari dari reformasi pendidikan di China yaitu modernization theory dan human capital theory. Cina meyakini bahwa pembangunan tidak bisa direalisasikan apabila mayoritas masyarakatnya tidak memegang teguh nilai modernisasi.
Bagi China Pendidikan dan pelatihan adalah investasi terpenting bagi sumber daya manusia. Setelah pendidikan sukses dibangun kemudian sumber daya manusia juga akan terbangun, hingga ekonomi, dan akhirnya negara akan menjadi kuat (national power).
Hukum dan peraturan dijalankan secara sistematis dan ketat. Mereka menganggap itu adalah cara yang paling efektif untuk mengawasi implementasi seluruh sistem yang besar dan komplek.
Departmen pendidikan yang dibentuk di bawah Kementerian Pendidikan sering membuat rancangan undang-undang setelah disetujui oleh rakyat kongres kemudian diberlakukan hukum dan menjadi kebijakan yang harus dijalankan di tingkat masing-masing.
Namun, China tidak pernah mengabaikan keunikan atau wisdom lokal. Kebijakan tersebut selalu menyesuiakan dengan konteks lokal. Pemerintah selalu mengawasi pendidikan dengan sungguh-sungguh dan ketat.
Setiap permasalahan pendidikan selalu diselesaikan secara scientific yaitu selalu dilakukan research dan experiment terlebih dahulu untuk mengidentifikasi masalah dan menemukan solusinya.
Rumus yang dibuat oleh China adalah reformasi pendidikan akan menghasilkan kualitas pendidikan dan prestasi siswa, kemudian akan berdampak pada kualitas tenaga kerja yang unggul.
Tenaga kerja yang unggul tentu akan sangat memengaruhi pembangunan dan ekonomi, hingga akhirnya negara China akan menjadi pemenang dalam kompetisi dunia atau yang biasa kita kenal sebagai negara super power.Untuk mengaplikasikan rumus tersebut China menekankan empat hal penting yaitu kesetaraan kualitas, efisiensi, dan peremajaan. Kesetaraan dalam pendidikan, kualitas produktifitas masyarakat, efisiensi dalam penerapan, dan peremajaan dalam pembangunan bangsa dan status global.
Kalau kita amati keempat tema besar tersebut tidak eksklusif justru sangat berhubungan dan bergantung satu sama lain. China telah sukses menempatkan dirinya sebagai negara yang berwibawa di mata dunia.
Bagaimana Pendidikan di Indonesia?
Indonesia terus berusaha memperbaiki kualitas pendidikan. Sejatinya telah banyak perubahan yang dilakukan untuk membenahi pendidikan namun harus diakui belum ada hasil yang memuaskan.
Bahkan rilis PISA terakhir posisi Indonesia belum ada kemajuan. Kelemahan utama pendidikan di Indonesia adalah pada penerapan kebijakan dan SDM. Ide besar yang dituangkan dalam kebijakan tidak pernah sungguh-sungguh dijalankan secara maksimal sehingga semuanya terasa semu.
Kebijakan baru, program baru, hingga pelatihan baru tidak dijalankan dengan penuh makna. Semua berhenti pada hal-hal teknis dan administrasi belaka bahkan tidak jarang hanya menghabiskan anggaran. Kita lebih suka mengurusi hal-hal administrasi formal sehingga subtansi dan gagasan besarnya tidak tersampaikan dengan baik.
Kita harus belajar pada China bahwa kebijakan tidak sekadar hitam di atas putih dan akhirnya menjadi tumpukan kertas. Kebijakan harus secara sistematis dijalankan dan diawasi dengan sungguh-sungguh dan ketat. Ketat di sini bukan mengekakng tetapi memastikan bahwa tujuan kebijakan tersebut dipahami dan dijalankan dengan benar.
Modernisasi dalam pendidikan tak cukup hanya sistemnya namun juga SDM nya. Modernisasi bukanlah westernisasi tapi mendekonstruksi segala aturan dan pikiran yang tidak masuk akal menjadi rasional bahkan ilmiah.
Kultur “kepatuhan” masih menyelimuti pendidikan kita. Akibatnya relasi yang dibangun adalah feodalis bukan dialogis. Kita lebih bergairah pada tampilan sampul yang hipokrit daripada jati diri yang otentik. (***)