ADA yang menarik dalam pelantikan dan pengambilan sumpah dokter ke-7 kali di Unusa. Seorang aktivis organisasi kemahasiswaan, mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unusa menjadi salah satu dokter baru yang diambil sumpahnya. Dia adalah Ilyas Febri.
Anak ketiga dari empat bersaudara itu mengungkapkan bahwa minat awalnya dalam berkuliah adalah di bidang teknik, namun berkat arahan orang tua dan lingkungan sekitar, akhirnya ia memilih berkuliah di kedokteran.
“Saya sempat berkuliah di bidang teknik cuman hanya sebentar, lalu kemudian saya mendapat nasehat dari orang tua sekaligus melihat keberadaan lingkungan sekitar saya hingga kemudian saya memantapkan diri untuk berjuang menjadi dokter dan membantu orang di sekitar saya untuk sembuh dan sehat,” tuturnya.
Pilihannya ke Unusa tidak lain karena orang tuanya, utamanya ibu yang aktivis NU meyakini benar kuliah di Unusa akan mendapatkan dua sisi bekal yang amat dibutuhkan dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
“Ibu saya yakin benar kuliah di Unusa akan memperoleh ilmu dunia dan akhirat. Nyatanya benar kami tidak hanya dibekali tentang ilmu-ilmu kedokteran tapi juga diingatkan dalam bertindak selalu diniatkan untuk beribadah kepada Alla SWT,” katanya.
Dikatakannya, selama berkuliah, manajemen waktu menjadi tantangan utama yang harus dihadapi, dirinya harus bijak dalam membagi waktu antara organisasi dan kesibukannya menjalani studi menjadi dokter.
Ilyas menceritakan, dirinya memiliki domisili awal di Sulawesi, tepatnya di Palu, oleh karena itu nantinya ia ingin mengabdikan dirinya ke daerah kepulauan sunda besar itu. Ia melihat bahwa Sulawesi juga merupakan daerah Timur Indonesia yang membutuhkan banyak tenaga medis untuk pelayanan kesehatan.
“Awal saya merantau ke Surabaya, sempat merasa kurang yakin untuk bisa beradaptasi di sini, tetapi kemudian di kedokteran Unusa ini saya bertemu banyak teman-teman yang berasal dari Timur Indonesia juga, yang kebetulan domisili awal saya adalah di Sulawesi, jadi pada akhirnya senang merasa punya keluarga baru yang berjuang di bidang yang sama juga,” ungkapnya.
Dalam perjalanan koasnya, Ilyas menceritakan banyak tantangan yang dihadapinya, baik saat praktik maupun saat ujian pergantian stase. Selama praktik koas, dirinya dan teman sejawatnya berhubungan dan berkoordinasi langsung dengan dokter konsulen tanpa adanya perantara.
“Selama koas, yang menjadi tantangan utama itu kita tidak adanya perantara dari mahasiswa koas dengan dokter konsulen ataupun spesialis, sehingga kita harus selalu sigap dan memberikan pelayanan terbaik kepada pasien ketika ditugaskan langsung oleh dokter konsulen, tetapi justru hal tersebut membuat kita terbiasa menyelesaikan hal yang rumit secara tegas dan sigap,” cerita Ilyas.
Pria kelahiran 1 Februari 1998 yang juga lulusan SMA Unggulan Pondok Modern Selamat Kendal itu mengungkapkan bahwa stase yang paling sulit dan menjadi tantangan tersendiri adalah stase saraf dan mata, karena ujian yang dilakukan berhadapan langsung dengan dokter senior yang spesialistik, sehingga hal tersebut membutuhkan persiapan lebih matang.
“Ketika menghadapi ujian di stase saraf dan mata, rasa gugupnya itu berbeda dan lebih terasa deg-degan karena selain materi yang dihafalkan juga banyak, dokter yang menguji pun dokter spesialis yang sudah senior. Tapi Alhamdulillah berjalan lancar, dan yang menjadi kunci menghadapi ujiannya adalah berdoa dan minta restu orang tua,” ucapnya.
Putra dari Ady Pitoyo dan Siti Khuzaimah itu menambahkan bahwa pengalamannya selama koas merupakan pengalaman yang sangat berkesan bagi perjalanan studinya di kedokteran. Selain mendapat ilmu baru, dirinya juga senang dapat membantu banyak pasien. Nantinya, setelah pendidikan profesi dokter selesai, dirinya ingin melanjutkan ke spesialis bedah atau anestesi. (Humas Unusa)