Surabaya – Tugas sebagai guru sangat berat di tengah perubahan dan krisis etis yang terjadi di masyarakat. Sebagai guru profesional harus memberi bekal kepada peserta didik agar hal yang kini telah terjadi tidak dilakukan oleh peserta didik. Hal ini seperti diungkapkan Rektor Unusa Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng.
“Guru harus terus berusaha mengingat-ingat dan meresapi dalam sanubari masing-masing terhadap sumpah dan janji yang telah diucapkan sebagai guru profesional,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara Pelantikan dan Sumpah Profesi Pendidikan Guru Dalam Jabatan Tahun 2022 yang bertempat di Auditorium Tower Unusa, Rabu (15/3).
Prof Jazidie mengingatkan ada tiga budaya yang harus disampaikan kepada peserta didik agar krisis etik saat ini tidak terjadi. Pertama, menyampaikan tentang budaya bersalah. Mau mengaku dan meminta maaf ketika melakukan kesalahan.
Kedua, budaya malu. Misalnya Malu membuang sampah sembarangan. Malu datang terlambat. Malu melanggar peraturan.
Ketiga, budaya takut. Segan atau hormat kepada guru dengan tidak bersikap seenaknya kepada guru atau atau orang yang lebih tua.
“Tugas kita sebagai pendidik di tingkat paling dasar sungguh amat berat dan tidak ringan. Di pundak para gurulah masa depan negeri ini, karena kita menyiapkan generasi mendatang,” katanya.
Prof Jazidie mengungkapkan, bahwa guru sebagai bagian dari tenaga kependidikan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan di sekolah. Tujuan lembaga sekolah dapat dicapai secara maksimal apabila tenaga guru memiliki profesionalisme yang telah ditetapkan, meliputi profesionalisme pedagogik, sosial, profesional dan profesionalisme kepribadian.
“Guru yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian, baik dalam materi maupun metode. Selain itu juga ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual,” tegasnya.
Prof Jazidie menambahkan, profesionalisme merupakan hal yang harus dimiliki setiap guru, karena guru adalah aset nasional intelektual bangsa dalam pelaksanaan pendidikan yang mempersiapkan pengembangan potensi peserta didik dalam rangka melahirkan sumber daya manusia yang mampu, cerdas, dan terampil serta berakhlak mulia guna menunjang peran serta dalam pembangunan.
Disisi lain untuk mencapai suatu profesionalisme bukanlah yang mudah, tapi harus melalui suatu pendidikan dan latihan yang relevan dengan profesi yang ditekuni. Dari profesional guru maka bisa timbul minat dari peserta didik untuk belajar.
Sementara itu Dekan FKIP Unusa Dr Muhammad Thamrin Hidayat meminta para guru profesional agar meningkatkan kemampuan literasi dasar, yakni kemampuan literasi membaca, menulis, dan berhitung, menjadi kemampuan berpikir kritis, kreatif, menemukan stock learning, memecahkan masalah, mengatasi perbedaan, dan mengatasi berbagai perbedaan gagasan, hingga menggunakan metodologi pembelajaran yang beragam.
“Ini semua karena tuntutan revolusi industri 4.0 saat ini. Karena itu, para guru harus selalu belajar. Sebab, belajar harus dilakukan sepanjang hayat. Dosen dan guru harus melakukan riset tentang produk-produk yang mendukung profesinya,” tandasnya.
Abad 21 ini, Thamrin menambahkan, perlu menyiapkan diri agar mampu menghadapi tantangan yang semakin kompleks.
“Pembelajaran dapat dilihat, diamati, diungkapkan, dirancang, dilaksanakan, dinilai bahkan ditentukan pemecahan masalahnya,” ungkapnya.
Thamrin mengungkapkan, tidak ada guru profesional yang tidak ada tantangan. Karena itu, ia mengajak agar para guru menjadikan keluarga dan teman sejawat sebagai kekuatan dan teman berdiskusi dalam memecahkan berbagai persoalan.
Ada pun 201 Guru Profesional (Gr) yang dilantik berasal dari 29 Kabupaten Jawa Timur, 3 Kabupaten di Sumatera Selatan, dan 2 Kabupaten Jawa Tengah. Sebelumnya, mereka telah dinyatakan lulus Ujian Nasional yang dilaksanakan Direktorat Jenderal (Dirjen) PPG, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (***)