Surabaya – Perempuan yang bernama C. Timbul Sri Rahayu merupakan salah satu dari 201 peserta yang dilantikan dan diambil sumpahnya pada Rabu (15/3) siang. Ia memperoleh gelar baru sebagai guru profesional setelah mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) Sekolah Dasar di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).
Ia mengajar sejak 35 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1988. Dia memulai kariernya sebagai seorang guru di Sekolah Dasar (SD) Katolik Santa Maria, Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan.
Pada awalnya, perempuan kelahiran Magelang, 3 Oktober 1969 ini, tidak pernah membayangkan untuk menjadi guru, apa lagi untuk mengajar di SD. Awalnya ia berharap jadi seorang prajurit negara seperti sang ayah, tetapi orang tua tidak mengizinkan. Kemudian oleh saudaranya, dia didaftarkan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Van Lith, Muntilan, Kab. Magelang, Jawa Tengah.
“Ternyata peminat untuk menjadi guru banyak sekali, hal ini terlihat ketika banyaknya mendaftar di SPG. Saya mulai berusaha mencintai pendidikan guru. Dan setelah lulus, saya dipanggil oleh yayasan yang dimiliki oleh perkumpulan para biarawati. Pihak sekolah tersebut mengatakan, bahwa tidak ada seorang pun yang mau ke Kalimantan untuk mengajar di sana. Maka saya memberanikan diri untuk pergi ke Kalimantan bersama guru yang telah mengajar di sana,” ungkapnya.
Sesampai di sana, ternyata dia belajar banyak hal melalui anak-anak yang masih polos, baik bahasa, emosi, maupun cara pandangnya pada setiap anak. Dan yang pasti dapat belajar mengendalikan diri untuk tidak mudah marah, apalagi kalau menghadapai anak-anak yang dijauhi temannya karena suatu hal yang berbeda dari teman yang lain.
“Sejak saat itu, saya memantapkan diri untuk tetap mengajar di SD, meskipun pernah mendapat tawaran mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA),” ungkap perempuan yang pernah menjabat sebagai Sekertaris Wanita Katolik, Ranting Kotabaru, Kalimantan Selatan tahun 1990–1999 ini.
Perempuan yang saat ini mengajar di SD Katolik Indriyasana VII, Surabaya, menceritakan bahwa saat pertama kali mengajar di SD, dia mendapat tempat mengajar di Kalimantan, yang pasti dirinya kurang paham akan bahasanya, dan untuk dapat memahaminya, khususnya apa yang disampaikan anak didiknya, dia, mencoba untuk mengikuti dan mendengarkan apa yang anak-anak katakan.
“Lama kelamaan, saya dapat memahami bahasa mereka. Ada juga pengalaman yang saya alami, yakni karena ketakutan anaknya tidak diterima di SD, orang tua tersebut berbohong, dia mengatakan bahwa anaknya sudah sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) padahal belum, nah sebagi bentuk tanggung jawab orang tua tersebut, setiap kali saya memberi tambahan belajar untuk anaknya, orang tua tersebut memperhatikan dari jauh, dan kemudian diulang di rumah, apalagi untuk membaca dan berhitung,” ungkapnya.
DiUngkapkannya, sukanya ia mengajar SD itu, saat anak didik dari yang belum dapat membaca menjadi dapat membaca. Saat ada anak didiknya yang tidak berani untuk tampil di depan teman-teman menjadi berani tampil. Saat anak didiknya menganggap bahwa guru sebagai teman mereka, karena kita dapat mengetahui banyak hal yang dibutuhkan anak didik kita.
“Dukanya menjadi guru SD, jika ada orang tua yang memanjakan anaknya dengan tidak mengizinkan anak didiknya mengikuti kegiatan sekolah karena orang tua terlalu protect,” ungkapnya.
Belajar Tiada Henti
Pada awalnya, dia kurang mengetahui apa dan dimana Unusa itu ada, namun berjalannya waktu mulailah mengetahui dan memahami Unusa. Dia menceritakan pada awal pertemuan, mahasiswa dibagi dalam kelas, kemudian mahasiswa dipanggil untuk memimpin doa, dia memberanikan diri untuk memimpin doa di kelas.
“Saya memimpin doa menggunakan aturan katolik, karena saya kan seorang katolik dan kerja di sekolah katolik, sehingga terbiasa berdoa dengan aturan katolik. Saya lupa kalau teman PPG itu multi agama, seteleh selesai memimpin doa, salah satu teman saya kayaknya agak kaget, lalu disambung oleh teman lain untuk doa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, dari situlah saya sangat malu, tetapi teman-teman dan para pendamping sangat menerima saya apa adanya, tidak ada diskriminasi,” ungkap perempuan yang saat ini menjadi Seksi Katekese, Lingkungan Santo Yose 4, Paroki Sakramen Mahakudus, Surabaya periode 2023–2026 ini.
Dia juga banyak mendapat pengalaman baru terutama penggunaan IT, dia banyak dibantu oleh para dosen, guru pamong, teman mahasiswa, dan juga pada admin PPG, kalau ada kesulitan mereka semua tidak henti dan tidak bosan membantunya.
“Saya senang belajar di Unusa, karena para dosen, guru pamong, dan bagian admin menerima serta membantu dengan maksimal. Apa lagi pada waktu saya upload tugas dan penyelesaiannya semua ikut membantu,” ungkapnya.
Dia mengungkapkan bahwa keluarganya sangat mendukung sekali terhadap studi PPGnya ini, meskipun usianya tidak muda lagi. Karena dia hanya tinggal bersama anaknya yang masih kelas 2 SMP, dia sangat memahami bahwa ibunya sedang repot dan banyak tugas.
“Tempat kerja, semua pihak mendukung bahkan memberikan kelonggaran waktu dan menyiapkan guru pengganti untuk kegiatan belajar mengajar di kelas,” ungkapnya.
Dia Berharap bagi teman-temannya, meskipun sudah selesai PPG, tetapi tetap harus selalu berjuang untuk menambah wawasan dan menambah pengetahuan melalui siapa pun, jangan merasa puas dengan apa yang sudah kita pahami.
“Bagi teman-teman semua, jangan takut untuk menerima perubahan dan jangan patah semangat jika mengalami kesulitan, karena banyak orang yang bersedia membantu kita asalkan kita mau meminta bantuan dengan tulus,” pungkasnya. (Humas Unusa)