Surabaya – Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Munif Chatib menilai guru harus siap untuk revolusi pendidikan.
Munif menilai jika revolusi Industri 4.0 sesungguhnya adalah penyebab utama terjadinya revolusi pendidikan. Dengan ditemukannya internet, maka banyak perubahan yang terjadi di dunia ini di berbagai bidang. “Semua sektor sudah mulai dari ekonomi bisnis, kesehatan, pertanian bahkan sampai ke bidang pendidikan,” ucapnya, Kamis (29/10).
Sedangkan pada dunia pendidikan, sudah terjadi revolusi pendidikan dalam bentuk e-learning. Pada awal tahun 2005, negara maju sudah mulai menerapkan e-learning. Sedangkan di Indonesia masih jauh tertinggal. Saat ini dengan adanya musibah pandemi covid 19, membuktikan bahwa revolusi pendidikan sudah harus dimaklumi keberadaannya. Tahapan revolusi system pendidikan adalah sebagai berikut:
Pertama sistem konvensional. Penyelenggaraan pendidikan diakukakan dengan cara tatap muka langsung antara pelajar dan pengajar. Ciri-ciri pendidikan konvensional adalah memiliki gedung sekolah, mempunyai struktur kurikulum, jadwal kalender akademik, ada pelajar dalam rombongan kelas, lalu ada pengajar yang mengajar di berbagai kelas secara tatap muka langsung.
Pendidikan di Indonesia masih menggunakan model seperti ini sampai sebelum pandemi covid 19 terjadi. Di Indonesia, mulai jenjang Pendidikan Anak Usia Dini sampai Pendidikan Tinggi masih menerapkan pendidikan konvensional.
Kedua, sistem blended learning. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan dengan 50 persen tatap muka langsung (offline) dan 50 persen jarak jauh (online). Ciri-ciri blended learning adalah memiliki gedung sekolah, mempunyai kurikulum, jadwal kalender akademik.
Hanya saja Ketika pembelajaran online, tidak harus dilakukan pelajar di rumah, seperti yang terjadi sekarang ini dalam kondisi belajar dari rumah sebab covid 19. Pelajar bisa saja tetap datang ke sekolah namun pembelajarannya berhadapan dengan komputer, tidak langsung bertemu guru. Pembagian berapa jam offline dan online sangat tergantung jenjang pendidikan dan kalender akademik setiap sekolah.
Pada tahun 2015, Kementerian Pendidikan Tinggi (kemendikti) waktu itu mendisain konsep blended learning untuk univeritas seluruh Indonesia, negeri maupun swasta. Kemendikti juga melakukan sosialisasi sistem blended learning. Namun sebelum pandemi covid 19 hasilnya kurang mendapat respon dari banyak universitas. Pada saat pandemi covid 19, barulah semua universitas sadar bahwa blended learning adalah keharusan zaman yang harus dipahami, diikuti dan dipelajari. Tantangan blended learning berikutnya adalah pada jeanjang Pendidikan SLTA ke bawah.
Pada bulan Maret 2020, saat munculnya pandemi covid 19 di Indonesia, semua sekolah menyelenggajaran Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dari rumah. Hampir semua guru kebingungan mengajar dengan on-line. Pada Juli 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengadakan penelitian tentang kemampuan guru Indonesia mengajara secara online.
Ternyata, hanya 8 persen guru Indonesia pernah dilatih dalam mengajar secara online. Sedangkan 92 persen belum pernah dilatih mengajar secara online. Baik tentang penggunaan aplikasi online maupun strategi mengajar yang menarik. Artinya desain pendidikan di Indonesia memang belum dirancang sesuai dengan perkembangan zaman. Pandemi covid 19 ini hanyalah momentum percepatan penyadaran saja, bahwa sistem pendidikan kita jauh tertinggal.
Ketiga, sistem distance learning. Penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan dengan seratus persen pembelajaran jarak jauh (online). Ciri-ciri distance learning adalah memiliki gedung sekolah dan almamater, mempunyai kalender akademik. Bedanya dengan blended learning, model ini pelajar tidak pernah bertemu tatap muka langsung dengan pengajarnya.
Perguruan tinggi kelas atas, seperti Harvard University, Stanford University dan beberapa lagi sudah lama menerapkan kelas distance learning. Dapat juga dikatakan setiap universitas yang maju memiliki dua model, yaitu sekolah nyata dan sekolah maya, yaitu distance learning. Universitas di Indonesia memang masih belum serius menyelenggarakan model distance learning.
Keempat, sistem Massive Online Open Courses (MOOC). Penyelenggaraan pendidikan dengan jangkauan yang sangat luas, berupa kursus-kursus praktis yang dilayani oleh pengajar-pengajar yang professional. Ciri-ciri MOOS ini adalah tidak ada gedung sekolah, tidak ada kurikulum secara terstruktur, tidak ada kalender akademik.
Kurikulum yang ditawarkan berupa modul-modul kursus yang diperlukan oleh pelajarnya. MOOC paling banyak dapat diakses dalam bentuk aplikasi di smart phone atau di website. Saat ini masih diselenggarakan pada level universitas atau publik lulusan SLTA. Bahkan terdapat fasilitas pemberian ijazah setiap selesainya sebuah modul. Contoh MOOC yang berkembang saat ini adalah Coursera, Udemy, Udacity, Edx, Khan Academic, Duolingo, dan lain-lain. (sar humas)