Surabaya – Jatim saat ini fokus pada pemberdayaan ekonomi pesantren melalui program One Pesantren One Product (OPOP). Program ini dikembangkan Pemprov Jatim yang berkolaborasi dengan Universitas NU Surabaya (Unusa) sebagai OPOP training center.
“Jatim berkomitmen untuk mewujudkan OPOP menjadi sebuah kemandirian ekonomi pesantren. Dalam konsep ini, OPOP bukan diarahkan kepada inkubasi bisnis individu atau kelompok, melainkan menjadikan pesantren sebuah epicentrum ekonomi bernafaskan nilai-nilai luhur ekonomi syariah dan kekeluargaan,” kata Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak, Senin (9/9).
Lebih jauh dijelaskan wagub termuda ini, bahwa insan pesantren diarahkan kepada kemampuan menciptakan sebuah produk unggulan. Produk unggulan ini akan diasosiasikan sebagai produk unggulan pesantren, bukan produk unggulan individu santri atau sekelompok santri. Apabila santri akhirnya akan meninggalkan pondok pesantren, mereka akan memiliki bekal pengalaman, jaringan usaha dan karakter wirausaha untuk kemudian menjadi insan yang mandiri dan produktif.
“Adapun pesantren, dengan silih bergantinya insan santri, akan terus mempertajam keunggulan produk mereka, dan mewarnai ekonomi Jawa Timur dengan kualitas dan keluhuran praktek ekonomi pesantren yang mengedepankan kerja keras dan kepedulian sosial,” kata Emil.
Untuk menunjang profesionalisme dalam merumuskan program OPOP di Jawa Timur, Pemprov Jatim telah menggandeng ICSB, sebuah organisasi internasional yang sejak berdiri di tahun 1955, telah memainkan peranan mendorong pengembangan UMKM di seantero dunia.
“Dalam Rakernas ICSB Indonesia, kami mendapat kesempatan untuk mengenalkan hasil kajian awal OPOP Jawa Timur, dimana kami menekankan kepada kolaborasi lintas pesantren dengan format communal branding. Pesantren dapat memanfaatkan communal branding atau merk bersama, sedangkan Pemprov akan mendorong promosi dan jalur distribusi yang handal. Dengan demikian setiap pesantren tidak mengalami kesulitan untuk membangun citra merk dan jaringan pemasaran,” paparnya.
Emil menjelaskan kolaborasi UMKM adalah tema utama dalam pendekatan OPOP di Jawa Timur. Pada tahap awal, program ini akan turut bersinergi dengan program SMK Mini yang telah dikembangkan pemerintahan sebelumnya di 233 pesantren serta 100 lebih koperasi pondok pesantren yang telah berdiri.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur OPOP Training Center Universitas NU Surabaya (Unusa), Mohammad Ghofirin menjelaskap konsep OPOP ada tiga pilar. Yakni santripreneur (santri), pesantrenpreneur (koperasi), dan sosiopreneur (alumni dan masyarakat).
“Ketiganya bersinergi mewujudkan Produk Unggulan Pesantren. Untuk mengimplementasikan desain OPOP tersebut dibutuhkan komitmen OPD terkait, diantaranya Dinas Pendidikan (Santripreneur), Dinas Koperasi (Pesantrenpreneur), dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Sosiopreneur),” katanya.
Ghofirin yang juga ketua Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unusa mengatakan santripreneur lebih kepada pemberdayaan santri. Tujuannya agar mereka memiliki bekal ketrampilan berwirausaha sejak menjadi santri. Sehingga saat keluar dari pesantren, santri mampu mandiri dalam berwirausaha.
“Kami menyadari bahwa santri tidak selamanya berada di pesantren, akan ada masa dimana santri harus mandiri dan keluar dari pesantren. Sehingga produk yang dicetuskan dan dihasilkan oleh santri ketika masih berstatus sebagai santri pada akhirnya ada dua kemungkinan. Pertama; produk tersebut diteruskan oleh pesantren melalui entitas koperasi pondok pesantren. Kedua; produk tersebut diteruskan sendiri oleh santri (alumni) dengan melibatkan masyarakat sekitar, yang kemudian kami menyebutnya Sosiopreneur,” katanya.
Adapun pilar kedua, pesantrenpreneur merupakan pemberdayaan entitas mandiri di dalam lingkup pesantren. Entitas tersebut adalah Koperasi Pondok Pesantren (Koppontren). Entitas inilah yang fokus mengembangkan produk unggulan pesantren yang dikembangkan berdasarkan potensi yang ada di pesantren.
Terdapat 5 penguatan dalam program Pesantrenpreneur:
- Penguatan Kelembagaan Koppontren
- Penguatan SDM Koppontren
- Penguatan Produksi Koppontren
- Penguatan Pemasaran produk Koppontren
- Penguatan akses Pembiayaan Koppontren
“Targetnya adalah, minimal satu Koppontren, satu produk Unggulan Pesantren. Di dalamnya ada konsep Communal Branding Produk Pesantren,” katanya.
Pilar ketiga (Sosiopreneur) merupakan upaya untuk meningkatkan gairah berwirausaha bagi para alumni pesantren. “Saat ini terdapat banyak alumni pesantren yang berbisnis, namun belum terpetakan dengan baik. Melalui program ini, bagi alumni yang memilih usaha perdagangan misalnya, dapat menjual produk unggulan pesantren,” pungkasnya. (hap/Humas Unusa)