SURABAYA – Pahlawan Literasi Surabaya Satria Dharma menantang mahasiswa Unusa bisa menyelesaikan membaca seribu halaman buku dalam tempo empat bulan. Berbahaya jika mahasiswa tidak suka menulis dan apalagi membaca.
“Sebab seorang intelektual dilihat dari apa yang dia baca dan tulis. Agar bisa menghasilkan sebuah karya, pasti harus diawali dari banyak membaca dan menulis,” kata Satria Dharma, pensiunan guru bahasa Inggris yang tetap aktif menyuarakan pentingnya budaya membaca dan menulis.
Dia melontarkan tantangannnya saat menjadi pembicara dalam seminar literasi yang digelar Himpunan Mahasiswa Program Studi (Hima Prodi) S1 Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa). Tujuannya, meningkatkan kapasitas individu dan jiwa nasionalisme di kalangan mahasiswa.
Bagaimana budaya literasi di tanah air saat ini? Mengapa literasi Indonesia jauh tertinggal dibanding negara lain? Berikut wawancara dengan Satria Dharma:
Mengapa membaca dan menulis penting bagi pejalar dan mahasisiwa?
Ada empat keterampilan yang harus dikuasai dalam berkomunikasi, yaitu mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Membaca dan menulis adalah keterampilan yang paling sulit sehingga harus dilatih.
Sama seperti mengemudi mobil. Kita harus berlatih setiap hari agar bisa mengemudi. Tidak bisa hanya dengan membaca buku mengemudi, kemudian kita bisa mengemudi. Semakin banyak berlatih, maka kita semakin terampil.
Keduanya penting karena dunia intelektual didasari keterampilan membaca dan menulis. Kita mulai menulis sejak SD sampai SMA. Semakin tinggi pendidikan, bakal semakin penting keterampilan membaca dan menulis.
Bahkan pada tingkat perguruan tinggi hanya tinggal membaca dan menulis. Apalagi S2 dn S3, semakin banyak yang harus dibaca dan semakin banyak yang ditulis. Semakin tinggi pengetahuan yang kita raih, semakin penting membaca dan menulis. Makanya harus dilatih sejak kecil,
Mengapa Anda tergerak membudayakan literasi?
Saat aktif jadi guru, saya membandingkan pendidikan kita dengan luar negeri. Kita selalu kalah. Begitu masuk sekolah internasional, saya baru sadar. Kita kalah karena mereka benar-benar serius menumbuhkan budaya membaca pada anak-anak.
Bahkan bukan hanya budaya membaca, tapi juga menaikkan tingkat membaca. Mereka punya ketentuan tingkat membaca bagi anak-anak. Sementara kita tidak ada. Seberapa tinggi sih tingkat membaca yang harus dimiliki anak SD, SMP dan SMA di negeri ini?
Saya kemudian sadar dan harus mulai menggerakan anak-anak agar minat bacanya tumbuh. Kalau tidak dibiasakan membaca, selamanya mereka tidak mau membaca. Memang belum ada pada kurikulum. Sekolah tidak membiasakan anak-anak membaca. Indonesia terkenal dengan budaya ngomong, sehingga harus ada alokasi waktu untuk belajar dan menulis.
Bagaimana kepedulian pemerintah?
Pada masa Menteri Anies Baswedan dimasukkan Gerakan Indonesia Membaca yang kemudiian diubah menjadi Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Konsepnya sederhana. Setiap sekolah harus membiasakan anak membaca. Setiap hari dilokasikan 15 menit bagi murid untuk membaca, Buku yang dibaca bebas. Intinya membangun pondasi minat membaca,
Apa kendala GLS?
Fasilitas bacanya kurang karena sekolah tidak peduli dengan membaca. Mereka belum membangun perpustakaan. Padahal perpustakan sangat penting karena jantungnya sekolah. Dan sedihnya, justru perpustakaan yang paling tidak diurus sekolah. Kondisi itu yang ingin kita ubah.
Alhamdulillah begitu Anies Baswedan diganti Muhadjir Effendi, GLS diteruskan dan sekarang menjadi Gerakan Literasi Nasional. Penting sekali menanamkan budaya baca pada anak-anak. Jika telat, sampai besar mereka tidak akan suka membaca. Sama seperti sholat yang harus diajarkan dan didisplinkan sejak kecil.
Bagaimana budaya membaca dan menulis saat ini?
Kita masih sangat ketinggalan. Kita tidak mewajibkan siswa membaca. Padahal di nengara lain wajib. Makanya Pak Taufik Ismail pernah menyebut Tragedi Nol Buku.
Bagaimana kesan Anda terhadap kegiatan mahasiswa Unusa?
Saya kagum kepada mahasiswa yang mengelar seminar literasi. Mereka memiliki kemampuan mengorganisir sebuah kegiatan dan memilih topik literasi. Sebuah topik yang mungkin asing bagi mahasiswa lain karena tidak paham.
Terkait literasi, apa yang Anda harapkan dari civitas akademika Unusa?
Bahaya jika mahasiswa tidak suka menulis dan apalagi membaca. Saya menantang mahasiswa Unusa membaca lewat program One Thousand Pages Reading Challenge atau tantangan membaca seribu halaman.
Coba kamu tantang dirimu agar berhasil membaca seribu halaman. Baca setiap hari 10 menit atau 15 menit. Normalnya 15 menit bisa membaca 10 halaman. Sebulan sekitar 300 halaman. Maka 1.000 halaman bakal tuntas empat bulan.
Mahasiswa harus menantang diri sendiri untuk membaca, Mulai sekarang harus menumbuhkan minat bacamu. Disiplinlah membaca agar benar-benar menjadi intelektual. Sebab seorang intelektual dilihat dari apa yang dia baca dan tulis. Agar bisa menghasilkan sebuah karya, pasti harus diawali dari banyak membaca dan menulis.(hap/Humas Unusa)