SURABAYA – Tiga mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) meneliti model pendidikan di sekolah inklusi — sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) — SD Muhammadiyah Kreatif 16 Surabaya. Metode pembelajaran pull out yang diterapkan sukses menghapus diskriminasi antara siswa reguler dan ABK.
“Kami ingin meneliti dan mengetahui bagaimana metode pengajaran di SD Muhammadiyah 16 Surabaya yang berhasil mengharmonisasikan antara siswa reguler dan siswa ABK,” kata Aisyah Nur Afifah Maulidiyyah, Tim PKM berjudul ‘School of Kids: Model Pendidikan Inklusi di di SD Muhammadiyah Kreatif 16 Surabaya.
Aisyah melakukan penelitian bersama Ulvi Nur Laily dan Nurul Hidayati Rofiah. Mereka berharap penelitiannya bisa menjadi pedoman bagi para guru dan bisa memunculkan lebih banyak sekolah inklusi di Indonesia dan khususnya Surabaya. Alhasil, penelitian mereka yang merupakan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang penelitian sosial humaniora ini lolos memperoleh dana hibah dari Kemeristekdikti.
Menurut Aisyah, saat ini jumlah sekolah inklusi atau sekolah yang mencampur siswa reguler dan siswa ABK masih sangat sedikit. Bahkan banyak SD negeri inklusi yang ternyata hanya sebatas predikat karena masih terjadi diskrimnasi di antara siswa reguler dan ABK. Saat ini terdapat sekitar 50 SD inklusi atau 25 persen dari total SD di Surabaya.
SD Muhammadiyah Kreatif 16 Surabaya sukses sebagai SD inklusi dengan menerapkan metode pengajaran pullout. Metode di mana pada jam pelajaran tertentu, siswa ABK ditempatkan di ruangan tersendiri untuk diajarkan mata pelajaran yang sama secara lebih mendalam sesuai kemampuannya. Di luar mata pelajaran tertentu itu, siswa reguler dan ABK berbaur dan belajar bersama.
Setiap kelas di SD Muhammadiyah Kreatif 16, mulai kelas I hingga kelas VI, selalu terdapat 2 ABK dari total 25 siswa. Setiap angkatan terdiri dari tiga kelas. Setiap kelas memiliki guru kelas, serta dua atau tiga shadow teacher yang bertugas mendampingi ABK di kelas tersebut. Saat pull out, para shadow teacher itulah yang mengajari siswa ABK. Pull out terbukti membuat siswa ABK tak tertinggal jauh dari siswa reguler.
Hal yang menarik, tidak ada diskriminasi antara siswa reguler dan ABK. Bahkan para siswa reguler justru ditanamkan rasa empati terhadap teman-temannya yang ABK sejak kelas I.
“JIka ada ABK yang usil karena pembawaannya, para siswa reguler justru ikut mengajak ABK untuk mendengarkan guru dan kembali belajar,” kata Aisyah.
Guna menumbuhkan empati, sejajar dan saling menyayangi, pihak sekolah memberi banyak penghargaan kepada seluruh murid tanpa terkecuali. Siswa reguler dan ABK yang berprestasi sesuai harapan bakal diberi piagam. Jika sudah mendapat lima piagam, bakal dapat medali. Jika dapat lima medali bakal diberi piala.
“Hal terpenting, penilaian bukan kognitif. Jadi ada Juara Persahabatan atau Juara Pemberi,” katanya.
SD Muhammadiyah Kreatif 16 mulai menjadi SD inklusisejak tahun 2005. Menurut Kepsek seperti dikutip Aisyah, tantangan tak mudah karena masyarakat belum bisa menerima ABK dicampur dengan siswa reguler. Masyarakat menganggap bahwa ABK hanya boleh di SLB (Sekolah Luar Biasa).
Namun pihak sekolah berhasil meyakinkan masyarakat. Mulai 2010, mereka sudah dikenal sebagai SD inklusi. “Bahkan murid ABK yang belum waktunya bersekolah sudah didaftarkan secara inden, karena siapa cepat daftar dia diterima,” kata Aisyah.(hap/Humas Unusa)