Surabaya – Belakangan jagat maya dihebohkan dengan video viral seorang murid yang melecehkan dan menantang gurunya sendiri di ruang kelas. Peristiwa yang terjadi di kabupaten Gresik ini menampar wajah pendidikan Indonesia. Krisis moralitas yang dialami pemuda bangsa kian merosot seiring dengan pesatnya modernitas.
Peran dan makna guru seakan kehilangan arti. Fifi Khoirul Fitriyah, S.Pd., M.Pd dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya ini menjelaskan bahwa dalam kasus ini agaknya bukan hanya murid yang menjadi fokus utama, namun ini menjadi alarm tersendiri bagi sistem pendidikan di Indonesia dewasa ini. “Dalam hal ini, sorotan bukan hanya pada siswa saja yang bersalah dengan perilakunya yang menyerang guru dan juga melecehkan guru, melainkan peran guru dan maknanya sebagai seorang guru. Dalam kasus ini, guru kehilangan maknanya sebagai guru, sehingga respect tidak terjadi,” katanya menuturkan.
“Berdasarkan pandangan eksistensial, apa yang dilakukan oleh siswa adalah sebuah wujud eksistensinya meskipun itu salah. Mengapa siswa sampai salah dalam bereksistensi, itu disebabkan karena tidak adanya respect tadi. Siswa ingin dianggap sebagai sosok individu yang keberadaannya diakui namun sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan nilai-nilai moral,” imbuhnya saat dihubungi melalui pesan singkat. Kebutuhan untuk diakui keberadaannya di tengah masyarakat bukan hanya dialami oleh seluruh individu. Namun pencapaian tersebut membutuhkan moralitas yang baik sebagai kendaraannya.
Kebiasaan bermain sebagai korban juga kerap digunakan dalam menghadapi permasalahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita bersama. menjaga moralitas bangsa bukan hanya tanggung jawab tenaga pengajar sahaja. Pengampu mata kuliah psikologi remaja ini juga mengungkapkan, dalam menumbuhkan karakter siswa bukan hanya tanggung jawab guru-guru tersebut, melainkan semua civitas sekolah memiliki kewajiban yang sama untuk bersama-sama mengambil sikap dalam mengembangkan karakter siswa.
Hukum Timpang
Penegakkan hukum lagi-lagi menjadi bahan pertanyaan, sudahkah hukum menjadi payung keadilan. Tak jarang kita jumpai kondisinya berbalik arah. Kasus yang terjadi di Gresik ini mengingatkan kita pada pelbagai kasus serupa. Jika murid yang menjadi pelaku kekerasan, jalan damai selalu jadi solusi utama. Lain soal dengan guru, cubit sedikit jeruji besi jadi rujukan. “Sebenarnya kasus kekerasan yang pelakunya adalah murid atau siswa ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Memang sebagian besar penyelesaian masalahnya adalah punishmen namun tidak membelajarkan, sering kali hanya sanksi administratif saja yang menjadi punishmen bagi siswa yang bersalah contohnya dikeluarkan dari sekolah dan sebagainya,” ungkapnya.
“Mirisnya, jika pelaku kekerasan adalah siswa maka sering kali hukumannya ditoleransi dengan dalih adanya UU perlindungan anak. Beda lagi urusannya jika pelakunya adalah guru. Bahkan mirisnya, ketika guru yang dalam hal ini sedang melakukan proses pembelajaran maupun mendidik moral siswa, sering kali disalah artikan sebagai sebuah tindakan kekerasan, dan muaranya adalah hukuman penjara bagi guru yang bersangkutan,” katanya menambahkan. Berdasarkan hasil penelitian yang sempat ia lakoni tentang fenomena agresif pada remaja, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum melakukan upaya konkret dalam penanggulangan kekerasan pada remaja. Hanya ada sanksi berupa punishmen sesaat yang tidak berdampak pada pembelajaran yang memungkinkan adanya perubahan perilaku dikemudian hari.
“Upaya selama ini sama sekali tidak membuahkan hasil, kenyataannya trend kasus kekerasan pada siswa remaja di Indonesia meningkat setiap tahunnya,” tutupnya. (rere/humas)