Nikah muda bukan barang asing bagi Indonesia. Namun popularitasnya beberapa bulan terakhir sempat kembali menjamur. Kampanye nikah muda adalah salah satu ironi negri, dimana kesadaran masyarakat tentang bahaya menikah di usia muda sangat kurang. Kampanye nikah muda juga kerap dikaitkan dengan pembenaran agamis.
Hal ini diamini Agus Aan Adriansyah, M.Kes dosen ilmu kesehatan masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama ini menuturkan bahwa, kampanye nikah muda tak pernah sedikit pun mengulas sisi kesehatan. “Kampanye nikah muda, hampir sama sekali tidak menghiraukan bahaya kesehatan yang mengancam,” ungkapnya. “Sering kali dalil dan alasan agamis digunakan sebagai pembenaran nikah muda. Padahal rasio kematian pada ibu dan bayi di usia muda cukup tinggi,” katanya menambahkan. Usia standart menikah dibuat bukan tanpa alasan, pertimbangan dari sisi medis juga jadi hal utama.
Rendahnya pengetahuan masyarakat
Budaya saru dan tabu adalah faktor utama terhambatnya penyebaran pengetahuan, tentang sistem reproduksi di tengah masyarakat. Karena pendidikan seks adalah hal yang tabu, ia menjadi jarang dibicarakan bahkan dalam ranah pendidikan. Padahal urgensitas pendidikan seks sama pentingnya dengan pendidikan formal lain. Dengan adanya pendidikan seks dan kesehatan reproduksi, masyarakat kita akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Tak hanya itu, angka pelecehan seksual di Indonesia juga bisa menurun.
Rendahnya pendidikan seks dan kesehatan reproduksi masyarakat, sangat mempengaruhi lancarnya penyebaran kampanye nikah muda. “Kebanyakan tujuan dari nikah muda kan serta-merta hanya agar tidak berzinah, agar bisa halal melakukan hubungan suami istri, dll. Tapi resiko dibalik nikah muda juga jarang sekali dibahas. Padahal menikah di usia muda bisa mempengaruhi kesehatan baik fisik maupun mental,” ucapnya. Pelaku kampanye sering mengesampingkan resiko dari sisi kesehatan. Kurangnya pengetahuan masyarakat juga menjadi keuntungan tersendiri bagi kampanye mereka.
Resiko berhubungan seks di usia muda
Kematangan alat reproduksi berkisar pada usia 20-25 tahun. Hubungan seks yang dilakukan di bawah usia standart akan sangat beresiko. “Katakanlah ada pasangan yang menikah di usia 15 atau 18 tahun, kemudian mereka melakukan hubungan suami istri, mereka bisa saja dikaruniai anak, namun rasio keselamatan ibu dan bayi juga lebih rendah,” jelasnya panjang lebar. Ironinya informasi seperti ini susah diterima oleh beberapa masyarakat, apalagi yang kerap menggunakan agama dan budaya sebagai suatu pembenaran.
Tak hanya itu, kesehatan mental juga berpengaruh pada keberlangsungan rumah tangga. Kesiapan mental dalam mengemban tugas sebagai orang tua di tengah kehidupan bermasyarakat juga mempengaruhi munculnya mental illness. Dari segi social ekonomi, ketidak siapan pasangan muda dalam hal finansial juga mempengaruhi meningkatnya angka kemiskinan. Ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup penyumbang dominan penyebab munculnya mental illness.
Nikah muda dan alasan keagamaan
Menikah di usia muda bukan ibadah wajib yang harus ditunaikan. Namun mengapa kampanye menikah di usia muda sangat akrab hubungannya dengan keagamaan? Nilai historis dan unsur ketaatan mempengaruhi sebagian besar pandangan masyarakat. “Memang agak sedikit sulit, jika kita bicara soal agama dan kebudayaan (kebiasaan) masyarakat. Apalagi kita berasal dari latar belakang yang berbeda-beda” jelasnya. “Namun mendapat pengetahuan kesehatan adalah hak dan kewajiban semua masyarakat,” katanya mengimbuhkan.
Agama adalah alasan yang kurang relevan untuk mengabsahkan kampanye menikah muda. Tapi, bukan berarti menikah muda tidak diperbolehkan dalam agama. Jika ingin menikah di usia muda, ada baiknya agar calon pengantin mengetahui resiko-resiko yang bisa terjadi baik dari sisi kesehatan fisik, mental, maupun ekonomi dan sosial. Terlepas dari agama, kematangan berfikir calon pengantin juga layak dipertimbangkan.
Sikap UNUSA terhadap kampanye nikah muda
“Unusa khususya ilmu kesehatan masyarakat, jelas menolak kampanye nikah muda. Di samping pelaksanaannya terlalu beresiko bagi kesehatan ibu dan bayi, praktisi nikah muda juga beresiko mengalami gangguan mental. Karena ketidak siapan secara mentality, mengingat tanggung jawab dalam berumah tangga sangat banyak,” tuturnya dengan tegas.
Sikap Unusa dalam menolak kampanye ini cukup nyentrik, mengingat banyak kampanye nikah muda yang digagas dari sisi agamis. Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya mentah-mentah menolak praktik nikah muda, meskipun institusinya berlandaskan unsur keagamaan yang kental. Agus dalam hal ini berharap Unusa bisa menyelenggarakan pengmas (pengabdian masyarakat) sebagai bentuk respon dari fenomena nikah muda. “Kebetulan sekali SDM kita saat ini ada yang fokus dan mampu membahas lebih dalam, tentang kesehatan reproduksi, semoga dalam waktu dekat kita bisa merealisasikan niat baik ini,” harapnya saat sesi wawancara. (rere/humas)