Surabaya – Aksi Cak Suro dan Sibil membuat Gedung Kesenian Balai Pemuda Surabaya menjadi penuh tawa. Tidak hanya generasi tua yang tertawa terpingkal-pingkal tapi anak-anak muda, siswa SMA dan mahasiswa pun ikut tertawa, bersorak dan bertepuk tangan.
Aksi kedua bintang Irama Budaya Sinar itu, ciri khas kesenian ludruk. Lelucon alamiah, memanfaatkan momen yang ada, syarat kritik dan blak-blakan. Cermin Suroboyo yang memang apa adanya.
Kata-kata yang cenderung kasar menjadi sesuatu yang wajar ketika mereka sampaikan di atas panggung. Bahkan hal itu mengundang gelak tawa. Seperti kata Jancuk. Kata ini berkonotasi negatif karena penghinaan bagi orang lain.
“Tapi lek dellok arek ayu, terus awak dewe ngomong jancuk ayune, yo justru iku pujian (Tapi kalau lihat anak cantik dan kita bilang jancuk cantiknya, justru itu pujian),” ujar Cak Suro disambut tepuk tangan penonton.
Kritik itu sebenarnya sangat cocok jika diterapkan di kondisi saat ini. Karena kritik yang disampaikan pelakonnya justru tidak membuat mereka yang dikritik menjadi tersinggung. Bahkan justru terbahak-bahak. Bahkan, ludruk ini juga memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang saat ini terjadi.
Sore itu, Gedung Kesenian Balai Pemuda lantai dua penuh penonton, Sabtu (27/10). Bahkan banyak yang tidak kebagian kursi. Mereka rela berdiri di tepi tangga atau duduk di akses jalan. Hanya untuk menyaksikan aksi Cak Suro dan Sibil.
Aksi keduanya menjadi pengobat rindu para pecinta ludruk, juga untuk memperkenalkan kesenian ini bagi anak-anak muda di Surabaya dan sekitarnya. Sebagai kesenian daerah jangan sampai ludruk menjadi musnah dan para seniman-senimannya tidak lagi memiliki panggung untuk terus menghibur masyarakat.
Tidak hanya Cak Suro dan Sibil, ludruk yang mengambil lakon Cak Durasim itu juga dimeriahkan aktor ludruk lainnya. Bahkan ada tari ngremo yang dibawakan siswa Taman Kanak-Kanak.
Pentas ludruk ini bukan kebetulan. Mereka tampil untuk memeriahkan launching film dokumenter Jejak-Jejak Cak Durasim.
Film ini dibuat atas inisiasi Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa). Untuk pembuatan film ini Unusa mengajukan pendanaan kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Setelah disetujui, Unusa menggandeng Lembaga Seniman Kebudayaan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Jawa Timur yang dikomandoi Cak Dullah.
Proses pengumpulan bahan dan syuting membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Syuting pun dilakukan di Surabaya dan Jombang sebagai daerah asal cak Durasim.
Warek 1 Unusa, Prof Kacung Marijan mengakui Cak Durasim bukan sekadar seniman tapi dia adalah seorang pahlawan. “Kita itu punya gedung Cak Durasim tapi belum pernah tahu Cak Durasim itu sosoknya seperti apa terutama anak-anak muda. Inilah saatnya kita perkenalkan sosoknya terutama pada mahasiswa Unusa,” jelas mantan Dirjen Kebudayaan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini.
Film berdurasi 48 menit dengan narator seorang warga asing itu nentinya akan disebarluaskan ke semua sekolah-sekolah secara gratis.
Bahkan kalau orang awam ingin memilikinya bisa menghubungi Unusa langsung. Dengan cara inilah ludruk bisa kembali memasyarakat. Cara inilah ludruk bisa kembali menjadi primadona tontonan rakyat selain ketoprak.
Beda dengan sekarang yang banyak sekali alternatif tontonan sehingga ludruk menjadi tersisih. Karenanya ludrukpun harus mengukuti perkembangan zaman. Kecanggihan teknologi juga harus diadaptasi.
“Ceritanya harus lebih menarik. Tata panggungnya juga harus lebih modern dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Sehingga anak-anak milenial ini lebih antusias menonton ludruk,” tukas Kacung Marijan.
Selain itu untuk Pemerintah Kota Surabaya harus lebih aktif memasyarakat ini. Terutama kepada pada wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Pemkot Surabaya bisa bekerjasama dengan perhotelan atau agen perjalanan untuk menggiring para wisatawan itu menonton ludruk setiap kali datang ke Surabaya. Sehingga kunjungan para wisatawan ke Surabaya ini menjadi lengkap.
“Kita harus punya tagline ojo ngaku tau nang Suroboyo lek rung tau nontok ludruk (jangan mengaku pernah ke Surabaya kalau belum nonton ludruk,” tandas Kacung.
Ludruk memang sudah menjadi milik masyarakat Surabaya. Cak Durasim yang namanya dijadikan sebuah gedung kesenian di Kota Pahlawan ini adalah pemain ludruk yang sebenarnya asalnya dari Jombang.
Seorang budayawan bernama Nasrullah menegaskan, warga Jombang merelakan ludruk ke Surabaya. Bahkan Cak Durasim juga menjadi salah satu ikon Kota Surabaya. “Sekarang ludruk milik semua orang, ayo kita lestarikan bersama-sama,” tukasnya. (hms-end)