SURABAYA – Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) digalakkan untuk menjadi budaya di setiap temaga kerja di Indonesia. Apalagi menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dengan budaya itu, tenaga kerja Indonesia siap untuk bekerja di manapun di negara yang bergabung dalam MEA itu.
Karena ternyata hingga saat ini, angka kecelakaan kerja di Indonesia masih sangat besar. Dari data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, pada 2015 lalu 102.182 kasus dan yang fatal sebanyak 2.375 kasus.
“Ini angka yang sangat besar. Semuanya harus menjadi budaya,” ujar Mohammad Nuruddin perwakilan dari PT Smelting dalam seminar nasional K3 Mengembangkan Strategi Pencegahan Kecelakaan Kerja di Industri dalam Rangka Menghadapi MEA, Sabtu (30/01).
Banyaknya jumlah kecelakaam kerja itu, dikatakan Agus Yulianto dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) karena pencegahan kecelakaan kerja itu membutuhkan sebuah kompetensi.
“Sekarang persaingan kerja semakin ketat. Dan dalam dunia kerja harus punya keahlian pencegahan kecelakaannya. Itu sudah harus kompetensi tersendiri,” jelas Agus.
Jika pencegahan kecelakaan kerja ini sudah menjadi kompetensi, maka semua orang bisa mengikuti uji kompetensi yang dilakukan lembaga sertifikasi profesi (LSP).
“Di sini perlunya adanya banyak diklat profesi yang ada kaitannya dengan pencegahan kecelakaan kerja. Dari sana tenaga kerja bukan hanya kompetensi dengan bidang yang akan digeluti namun juga kompeten menjaga keselamatan kerjanya,” tandas Agus.
Untuk bidang yang masuk dalam ranah Kementerian ESDM, dikatakan Agus cukup banyak yang perlu diwaspadai karena rawan terjadi kecelakaan kerja. “Pertambangan, migas itu pekerjaan yang risiko kecelakaan kerjanya sangat tinggi,” tandasnya.
Karena diakui Agus, Kementerian ESDM selalu memberikan pelatihan dan membudayakan setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang ini untuk menggalakkan budaya K3. “Memang sampai sekarang memang masih belum ada aturan tegas perusahaan yang melanggarnya. “Undang-undang no 1/1970 masih dipakai. Harusnya ini butuh direvisi karena sanksinya kurang tegas. Tapi ini ranahnya Departemen Tenaga Kerja,” tandasnya.