SELURUH perguruan tinggi (PT) di Tanah Air, baik negeri maupun swasta, harus siap menghadapi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan sertifikasi untuk mahasiswa yang bakal diluluskan.
KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang bisa menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.
Nanti kampus tidak hanya mengeluarkan ijazah reguler, tapi juga sertifikasi soft skill bagi lulusannya. Misalnya, selama kuliah seorang mahasiswa pernah mengikuti kegiatan terkait dengan soft skill, maka nanti akan mendapatkan keterangan dari kampus yang bisa dipakai untuk menghadapi dunia kerja.
Ketua Tim KKNI yang juga dosen Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Megawati Santoso mengatakan, KKNI pada dasarnya mengukur kualifikasi dari sebuah lembaga. Sebuah perguruan tinggi diukur dalam dua hal, yakni akuntabilitas dan rekognisasi pembelajaran lampau (RPL). “Untuk mengukur akuntabilitas sebuah perguruan tinggi harus melalui indikator setelah lulus kuliah mau jadi apa. Selama ini masalah tersebut masih belum dilakukan sebuah perguruan tinggi. Ini nanti ada level-levelnya.
Kalau S1 itu ada di level 6, begitu juga dengan diploma. Kurang dari itu tidak boleh. Kalau dilanggar maka akan menerima sanksi penurunan akreditasi dari program studi yang bersangkutan,” kata Megawati di sela Pelatihan Redesain Kurikulum Perguruan Tinggi Berbasis KKNI yang digelar Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) di ruang serbaguna RSI Jemursari belum lama ini. Masalah RPL, kata Megawati, proses pembelajarannya tidak hanya dilakukan dalam satu jalur, yakni pendidikan formal. Pembelajaran bisa melalui pengalaman.
Misalkan lulusan sekolah menengah atas yang belum memiliki ijazah sarjana atau diploma untuk bisa meraihnya. “Jika membutuhkan ijazah mereka bisa datang ke sebuah perguruan tinggi untuk menempuh pendidikan lanjutan yang dibutuhkan,” katanya. Dia mencontohkan, seorang lulusan SMK karena tidak memiliki dana untuk kuliah kemudian memilih bekerja. Biasanya setelah bekerja selama sekian tahun dalam satu bidang, misalnya elektro, dia membutuhkan ijazah sarjana demi sebuah karier di perusahaan.
Karena itu, dia b i s a datang ke perguruan tinggi yang sudah melaksanakan KKNI ini. Nanti pengalaman dia bekerja selama sepuluh tahun akan direkognisasi atau disetarakan dengan satuan kredit semester (SKS). “Jika menempuh pendidikan sarjana membutuhkan 140 SKS, misalnya, dan pengalaman dia dihitung bisa disetarakan dengan 100 SKS, maka dia tinggal menempuh pendidikan 40 SKS,” katanya.
Megawati menyebut ada 42 politeknik negeri berbagai bidang di Indonesia yang siap melaksanakan KKNI. “Semua itu sudah mengajukan diri ke Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti),” katanya. Namun, pengajuan ini harus dilengkapi dengan syarat-syarat, misalnya politeknik harus terdaftar resmi, akreditasinya jelas, memiliki asesor, memiliki perangkat pengetahuan, serta akreditasi berinduk pada program.
Ke depan, semua perguruan tinggi baik politeknik m a u p u n universitas yang memiliki program studi vokasi bisa mengajukan diri. Namun, karena KKNI ini rawan terjadi jual beli ijazah, maka semua institusi yang melaksanakan akan dipantau ketat, terutama masalah sumber daya dosennya. Direktur Yayasan Lembaga Peduli Pendidikan Indonesia (YLPPI) Murpin Josua Sembiring mengatakan KKNI akan membuat kampus menjamin lulusannya.
“Selama ini ijazah dan transkrip nilai yang diterbitkan kampus tidak menjamin lulusan memiliki kemampuan kerja, etiket kerja, dan lainnya,” kata Murpin. Pria berkacamata minus ini mengaku setuju jika sarjana perlu mendapatkan surat keterangan pendamping ijazah yang sebenarnya sebagai diploma suplemen atau tambahan informasi bagi dunia luar. “Ini lho kualitas, kompetensi yang Anda butuhkan. Kualifikasi lulusan diuraikan secara naratif,” kata Murpin menjelaskan soal surat keterangan pendamping ijazah yang juga diterbitkan kampus.
Ada beberapa komponen dicantumkan dalam surat tersebut di antaranya soft skill . Apakah kampus pernah memberikan pendidikan karakter? Dengan ini skripsi tidak lagi menjadi tolok ukur kemampuan mahasiswa sebelum lulus. Surat k e t e r a n g a n pendamping i jazah, menurut Murpin, membuat dunia kerja tidak ragu.
“KKNI akan semakin membuat sarjana berkualitas dan memiliki posisi tawar dan kedudukan. Kalau dipatuhi dan dijalani, lulusan tidak bingung menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN),” kata Murpin. Saat ini beberapa PT juga ada yang diplot melaksanakan uji kompetensi bagi siswa sekolah menengah kejuruan (SMK). Harapannya sarjana maupun lulusan SMK lebih inovatif.
Faktanya belum semua perguruan tinggi siap menghadapi KKNI. Terlebih lulusan sekolah kejuruan hingga kini masih dipandang sebelah mata di dunia kerja. Karena itu, pedagogi harus dikedepankan pada setiap pembelajaran. Dibanding negara- negara di Eropa, Indonesia masih jauh tertinggal dalam hal pedagogi.
“Dalam hal pedagogi, kita masih bisa belajar banyak dari negara-negara Eropa. Misalnya tentang pendidikan vokasi atau kejuruan. Kita harus menghilangkan paradigma bahwa lulusan sekolah kejuruan dipandang sebelah mata,” kata Kuncoro Foe, rektor Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS). Menurutnya, pedagogi atau pendekatan pembelajaran yang memicu seseorang untuk berpikir dan bertindak inovatif adalah suatu kebutuhan yang tak bisa disangkal. Terutama pada era global masa kini.
Pada KKNI yang termaktub dalam Peraturan Presiden No 8/2012 tertulis jelas bahwa semua pihak terkait, termasuk di dalamnya bisnis dan pemangku kepentingan lainnya harus secara aktif terlibat selama program pembelajaran. Ini akan menjadikan institusi pendidikan tinggi menghasilkan lulusan dengan kompetensi global abad 21. Dalam hal ini, termasuk kemampuan sosial, organisasional, teknikal, komputer, maupun seni.
Sebagai anggota dari Association of Southeast and East AsianCatholicCollegesandUniversities (ASEACCU), UKWMS telah membangun jaringan luas dengan berbagai universitas ternama dari seluruh penjuru dunia. Kepedulianakanperkembangan pendidikan dan metode pembelajaran serta strategi melalui cara offline (luring) maupun online (dalam jaringan/daring) menjadi salah satu perhatian utama UKWMS.
Dalam menghadapi globalisasi, UKWMS juga mempersiapkan mahasiswanya melalui peningkatan nilai-nilai kemanusiaan dengan metode service learning (pembelajaran berbasis jasa-layanan). Melalui forum ASEACCU, UKWMS sempat mengundang 11 universitas ternama dari enam negara berbeda. Sejumlah pakar pendidikan, penelitian, dan pengajaran luar negeri dihadirkan.
Di antaranya dari Turku University of Applied Sciences TUAS (Finlandia), Inholland University of Applied Sciences(Belanda), Business Academy Aarhus – EAAA (Denmark), University of Gda?sk (Polandia), The University of Seville (Spanyol), Bina Nusantara (Jakarta), Universitas Syiah Kuala (Nagroe Aceh Darussalam), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (Jakarta), Universitas Negeri Yogyakarta, dan Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Open Learning Centre (SEAMOLEC).
“Kami sedang fokus mempelajari dan mengembangkan penerapan innovation pedagogy yang merupakan pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pengembangan kompetensi inovasi. Pendekatan ini menjelaskan bagaimana suatu pengetahuan diasimilasi, diproduksi, dan dipergunakan dalam cara yang bisa menghasilkan inovasi,” tukas Y.G Harto Pramono, wakil rektor bidang kemahasiswaan, akademik dan urusan kerja sama UKWMS.
Selain UKWMS, sejumlah Politeknik lain di Indonesia juga siap menghadapi api KKNI. Bahkan sudah ada 42 poltek yang menyatakan kesiapan melaksanakan KKNI. Karena itu, KKNI juga terus disosialisasikan. Bukan hanya di perguruan tinggi, tapi juga politeknik. Rektor Unusa Achmad Jazidie menambahkan, Unusa telah mengundang pakar KKNI untuk hadir dan menyosialisasikan program KKNI ini.
“Dalam waktu dekat, Unusa akan mempersiapkan tim khusus agar KKNI bisa berjalan. Secepatnya bisa mengajukan diri sebagai universitas yang siap melaksanakan program KKNI,” kata Jazidie yang mantan Dirjen Dikti ini.