Anggaran pendidikan di setiap pemerintah daerah sudah ditentukan yakni minimal sebesar 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat. Namun kenyataannya masih banyak yang melanggar hal itu. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pun akan memberikan sanksi tegas bagi pemerintah daerah yang melanggar ketentuan tersebut.
Salah satu daerah yang patut untuk lebih peduli terhadap dunia pendidikan adalah Jawa Timur. Jawa Timur dari total kekuatan APBD sebesar Rp 23 triliun, Pemprov Jatim hanya menyisihkan Rp290 miliar atau sekitar enam persen untuk anggaran pendidikan.
“Kita akan cek kepatuhan baik pemerintah provinsi atau kota/kabupaten. Sesuai UU atau tidak. Karena ini (anggaran pendidikan 20 persen,red) UU. Pemprov, Pemkot/Pemda harus patuh. Itu titik,” tegas Ketua BPK RI Harry Azhar Aziz saat kuliah pakar Pengelolaan Sistem Keuangan Negara di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) di Kampus B Jemursari, Jumat (30/10).
Dikatakannya, tdak ada alasan bagi pemprov atau pemda untuk tidak memenuhi aturan ini. Selain karena UU harus dipatuhi bagi dari pemerintah pusat, provinsi, kota/daerah, pengalokasian anggaran untuk pendidikan ini adalah kebijakan yang akan memperkuat perekonomian daerah. Semakin tinggi pendidikan anak, maka secara otomatis sumber daya manusia (SDM) di daerah kian berkualitas. “Jika tidak sampai 20 persen, ada sanksi tegas. Dewan setempat harus bisa tegas menyikapi ini sebagai pengawas anggaran,” tegas Harris.
Makanya itu, BPK meminta DPRD Jatim kritis. Begitupula dengan Pemprov dan Pamda yang harus memperjuangkan anggaran 20 persen di sektor pendidikan. Jika tidak, BPK akan melakukan pemeriksaan dan akan menindaklanjutinya pada Kementerian terkait bahkan hingga ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Kalau tidak menyelesaikan pada waktu menjabat nantinya ketika tidak menjabat, gubernur, walikota ataupun bupati akan kena kasus ini,” ancamnya.
Tidak hanya itu, Dr Harry Azhar Aziz MA menilai pemerintah saat ini masih kurang dalam memperhatikan pendidikan dan kesehatan, karena masyarakat terdidik masih sangat kecil. “Itu kalau dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, dan Korea, apalagi dengan Amerika dan Jepang,” katanya.
Harry yang berbicara di hadapan mahasiswa, dosen, Rektor Unusa Prof Ahmad Jazidie, dan Ketua Yayasan RSI Surabaya (Yarsis) Prof H Mohammad Nuh DEA ini mengungkapkan masalah anggaran itu bukan sekadar anggaran negara yang semakin naik atau pengawasan terhadap anggaran itu, namun hal terpenting adalah pemanfaatan anggaran itu untuk rakyat.
“Anggaran kita dalam sepuluh tahun terakhir (2004-2014) memang naik hingga 500 persen dari Rp450 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp2.000 triliun pada tahun 2014. Itu belum termasuk aset nasional, aset daerah, dan aset BUMN serta BUMD,” katanya.
Namun, pemanfaatan anggaran itu untuk rakyat belum maksimal. “Anggaran itu bermanfaat untuk masyarakat bila masyarakat makmur dan ukuran kemakmuran adalah menurunnya kemiskinan, pengangguran, dan gini ratio (kesenjangan/pemerataan),” katanya.
Doktor bidang Ekonomi yang alumnus Oklahoma State University, Amerika itu mengatakan upaya menurunkan kemiskinan, pengangguran, dan gini ratio itu sangat ditentukan oleh pendidikan dan kesehatan.
“Masalahnya, perhatian kita pada dunia pendidikan masih sangat kurang. Misalnya, mahasiswa kita di Mesir ada 3.000 orang, tapi mahasiswa Malaysia sudah mencapai 20.000 orang. Apalagi Singapura, siswa peringkat 1-10 pada semua jenjang langsung diurus negara,” katanya.
Karena itu, dirinya bersama sejak memimpin BPK RI pada tahun 2014 bekerja sama dengan Kementerian Keuangan, Kemendikbud, dan Kemenag untuk merancang dana abadi pendidikan yang dikelola LPDP (lembaga pengelola dana pendidikan).
“Awalnya, saya minta kepada Menteri Keuangan untuk menyisihkan Rp2 triliun dari anggaran pendidikan sebesar 20 persen (Rp400 triliun) untuk dana abadi LPDP, lalu diberi hanya Rp1 triliun, namun dana abadi LPDP itu sekarang sudah mencapai Rp26 triliun,” katanya. (end)