Ayam Geprek Sarjana Unusa Penuh Inovasi

 

Surabaya –  Berbekal memenuhi tugas mata kuliah kewirausahaan, tiga mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) memulai bisnis kuliner ayam geprek yang diberi nama Ayam Geprek Sarjana (AGS). Kelebihan AGS, selain daging ayamnya tak bertulang, level kepedasan sambal bawangnya juga bisa dipilih sesuai selera.

Mereka adalah Reza Rizky Pratama, Iqbal Maulana W, dan Ahmad Ryandi Prasetyo.  Ketiganya mahasiswa Prodi S1 Manajemen semester 3.

“Kami memulai jualan AGS pada November 2019. Awalnya sekedar memenuhi tugas mata kuliah, tapi ternyata ayam geprek kami banyak yang suka,” kata Reza Rizky Pratama.

Menurut Reza, agar AGS berbeda dengan ayam geprek yang sekarang banyak dijual, mereka bertiga harus memutar otak agar bisa mencuri perhatian pasar. Maka ditemukanlah dua terobosan yang belum dipakai penjual lainnya.

Pertama, AGS menjual daging ayam tanpa tulang. Sebelum diolah dengan resep khusus racikan ketiganya, daging dipisahkan dari tulangnya. Setelah itu, barulah dimasak dengan tepung. Agar takaran setiap porsi yang dijual sama, daging ditimbang untuk setiap porsi.

“Kami ingin memudahkan konsumen saat mengonsumsi AGS. Mereka bisa menyantapnya tanpa harus mengotori tangan karena harus memisahkan tulang dengan daging. Tentu sangat bermanfaat buat mereka yang sedang di kantor atau kampus,” kata Iqbal.

Kemudian inovasi kedua soal level kepedasan sambal. Sesuai namanya Ayam Geprek Sarjana, AGS memiliki tujuh level kepedasan yang diberi kode tingkat pendidikan, mulai PAUD hingga sarjana. Ada 7 level kepedasan, di mana setiap level semakin pedas dengan kelipatan tiga cabai.  Jika Paud mempergunakan 1 cabai, makaTK 3 cabai, SD 6 cabai, SMP 9 cabai, hingga sarjana yang mempergunakan 18 cabai ke atas.

Level sarjana dengan sambal 20 cabai menjadi menu favorit. Bahkan banyak yang pesan dibuatkan geprek Profesor, artinya level kepedasan di atas tingkat sarjana.

“Alhamdulillah olahan daging ayam geprek dan sambalnya ternyata disukai teman-teman. Alasannya mereka, geprek sarjana bisa menjadi menu pilihan yang sangat pas, selain enak juga harga terjangkau ,” tambah Ryan.

 

Terkendala Membagi Waktu

Reza dan kedua temannya menjual AGS Rp 10 ribu per porsi. Selain memasarkan lewat pameran, mereka juga menjualnya melalui pesanan. Mengingat masih harus kuliah, mereka hanya berjualan 3 hari dalam seminggu.

Setiap hari penjualan bisa mencapai 15 porsi hingga 17 porsi, atau sekitar 45 porsi dalam seminggu. Artinya sebulan sekitar 180 porsi. Bahkan saat mengikuti pameran, penjualan bisa  mencapai 24 porsi sehari.

“Setiap minggu ketika kami coba bagi hasil, masing-masing kami bisa terima Rp 80 ribu. Alhamdulillah sebuah permulaan yang bagus. Artinya keuntungan mencapai 30 persen,” kata Reza.

Kendala utama ketiganya tak lain soal membagi waktu karena masih sibuk-sibuknya mengikuti kegiatan perkuliahan. Padahal permintaan pelanggan terus berdatangan. Bahkan banyak mahasiswa atau dosen Unusa yang menyarankan agar mereka berjualan setiap hari.

“Kendala kami adalah waktu. Belum bisa membagi waktu antara kuliah, memasak geprek dan berjualan. Kami sudah terpikir bikin outlet, tapi masih bingung waktu,” tegas Ryan.

Namun ketiganya memang terus berpikir bagaimana menyiasati kendala waktu tersebut. Dalam waktu dekat, mereka berencana membuka outlet di BG Junction yang kebetulan dekat dengan rumah Reza.

“Rencana ke depan mau buka outlet. Kebetulan orang tua saya punya kedai di BG Junction. Mungkin nanti kami rekrut karyawan,” papar Reza.

Demi mempersiapkan pembukaan outlet, mereka juga terus berinovasi dengan AGS. Salah satunya dengan membuat pilihan sambal. Selain sambal bawang, mereka bakal mencoba alternatif sambal pencit atau mangga muda.

“Pokoknya terus berinovasi. Sebagai pebisnis pemula, kami di kuliah diajarkan untuk terus berinovasi. Jadi kami ini berbisnis sebagai bentuk realisasi dari ilmu yang kami peroleh dari Unusa,” tutup Reza. (hap/Humas Unusa)