Unusa Jadi Tuan Rumah Bedah Buku ’Kyai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan’

Surabaya

Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) mendapat kehormatan di Hari Santri 2016. PWNU Jatim menunjuk Unusa untuk melakukan bedah buku “Kyai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan”. Kegiatan dalam rangka halaqoh kebangsaan ini di gelar, Sabtu (22/10) di Aula Gedung Serbaguna RSI Jl. Jemurasri Surabaya.

Ada 3 pembicara masing-masing, KH. Sholeh Hayat (Penulis Buku), Prof. Kacung Marijan, Ph.D (Guru Besar Ilmu Politik Unair), Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng (Rektor Unusa). Hadir pula Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya dan seluruh elemen masyarakat NU khususnya di Kota Surabaya. Sholeh Hayat menuturkan, buku ini merupakan salah satu dokumen sejarah yang dimiliki warga NU. Terbentuknya Negera Indonesia merupakan salah satu usaha yang digelorakan kyai dan santri. Selain itu, berbarengan dengan ditetapkannya Hari Santri sebagai Hari Nasional, memperlihatkan bahwa perjuangan kyai dan santri telah diakui oleh negara.

“Terbitnya surat keputusan Presidan RI No. 22 tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional telah mengukuhkan dan mengabadikan perjuangan fisik para kyai dan santri dalam membela, memperjuangkan, dan mempertahankan Republik Indonesia dari penjajah,” katanya.

Pria kelahiran Gresik, 30 September 1949 menambahkan, fakta sejarah mencatat, bagi yang masih usia muda dan santri masuk laskar hizbullah yang dipimpin oleh KH. Zainul Arifin, bagi yang sudah umur dan para kyai masuk Laskar Sabilillah yang dipimpin oleh KH. Masykur.

Prof. Kacung Marijan, mengungkapkan, relasi NU dengan negara sangat erat kaitanya. Terlebih Kemerdekaan Indonesia salah satunya atas bantuan kyai dan santri. Namun, baru kali ini, NU telah dianggap oleh Negera salah satunya ditetapkannya Hari Santri Nasional. “Sejak kemerdekaan sampai saat ini, iklim politik di Indonesia itu perlu didampingi. Karena banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang telah mengacaukan sistem perpolitikan di Indonesia. Sedangkan untuk NU sendiri, kenapa baru kali ini, negara mengakui NU, karena NU tidak pernah mendokumentasikan catatan sejarahnya. Momentum pengukuhan Hari Santri Nasional, jangan dianggap sebagai hadiah semata, namun pengakuan dari negara. Meskipun negera terlambat mengakui adanya NU,” ungkap Guru Besar Ilmu Politik Unair.

Prof. Achmad Jazidie, menuturkan, resolusi jihad inilah yang merupakan sistem pertahanan yang ditelah digunakan oleh masa-masa kemerdekaan. Dengan resolusi jihad, masyarakat terus digelorakan untuk mengatasi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Perang hari ini, sangat berbeda dengan perang-perang zaman dahulu. “Saat ini musuhnya modal, pihak asing, bahkan kawan bisa menjadi musuh dalam selimut. Harapan saya warga NU, jadilah bintang di negara ini. Pendidikan dan kesehatan merupakan fokus penting dalam bonus demografi. Pesantren merupakan kawah candradimuka untuk membentuk pemimpin masa depan,” terangnya. (Humas Unusa)